Benarkah Suguhan Makanan Kematian Haram?
Pada tanggal
06 Nopember 2012, penulis mengisi acara Daurah pemantapan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah di Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Yogyakarta yang
diasuh oleh KH. Mu’tashim Billah Mufid. Dalam acara tersebut, salah seorang
peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian,
di mana dalam selebaran Manhaj Salaf, media siluman kaum Wahabi,
selamatan atau
suguhan makanan kematian dianggap haram secara mutlak. Selebaran
tersebut berjudul Imam Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan
dan Selamatan. Setelah saya memeriksa selebaran tersebut,
ternyata isinya penuh dengan kebohongan dan pemalsuan terhadap pernyataan para
ulama madzhab Syafi’i. Ulama menyatakan makruh, selebaran tersebut
merubahnya menjadi haram.
Saya menjadi
heran, bukankah selama ini kaum Wahabi sangat keras menyuarakan penolakan
terhadap hadits dha’if dan palsu, akan tetapi mengapa mereka sendiri justru
kreatif memalsu pernyataan para ulama? Di antara kebohongan dan pemalsuan
selebaran tersebut adalah pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Imam Syafi’i
dan madzhab Syafi’i mengharamkan “kenduri arwah” yang lebih dikenali dengan
berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati.
Kemudian
selebaran tersebut mengutip pernyataan ulama dalam kitab I’anah
al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah dan Mughni
al-Muhtaj. Anehnya, semua kutipan dari ketiga kitab tersebut menyatakan
bahwa selamatan kematian selama tujuh hari atau lainnya itu dihukumi makruh.
Akan tetapi penulis selebaran tersebut menegaskan bahwa tradisi selamatan kematian
tersebut dihukumi haram. Sepertinya penulis selebaran tidak mengerti perbedaan
antara hukum makruh dan hukum haram.Selebaran tersebut banyak melakukan
pemelintiran dan distorsi terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i dalam
kitab-kitab fiqih mu’tabaroh. Oleh karena itu, catatan ini akan mengupas
secara ringkas tentang hukum suguhan kematian menurut para ulama.
Suguhan
makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang
berta’ziyah, diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3
pendapat.
Pertama,
pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini
diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh
al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya,
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
مَا
يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146).
“Apa yang
dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan
menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam
Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi
selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in
(nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan
tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan
mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang
memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan
sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar
ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak
pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena
manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum
keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian
fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri
dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai
berikut. Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan
hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari
harta keluarga si mati.
Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur
‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum
dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan
madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan
yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab
Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian,
apabila makanan yang disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari
bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah
menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim
Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir
al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ.
“Apabila
orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka
menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk
konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman,
dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu
mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut
tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan
pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua,
pendapat yang menyatakan boleh atau mubah.
Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik
bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh
Ibnu Hajar sebagai berikut:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).
“Dari
Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum
Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.”
Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu
memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan
menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar,
mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak
jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar,
al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Hal yang
sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari
Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah
meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian
mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh
dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil,
lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur
itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit
dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits
di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka
cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat,
agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya
meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga,
orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian,
tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak
generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian
pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan
kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak
makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan
kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya
adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan
sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh
Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Ketiga,
pendapat yang mengatakan sunnah. Pendapat ini
diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang menganjurkan
bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati.
Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari
Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di
dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan
sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di
atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu
Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab
dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi
lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut
al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam
Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam
Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan
hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf,
sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih.
Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi
lil-Fatawi.
Tradisi
bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah
sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan
oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari
keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di
kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan
sunnat. Di antara mereka tidak ada pendapat yang
menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat
Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan
berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. Wallahu
a’lam.
(Oleh:
Muhammad Idrus Ramli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar