Surat
al-Ma’idah: 44, salah satu ayat yang disalahgunakan untuk melegalkan aksi
para teroris atas nama agama; mereka sengaja manipulasi makna kandungan ayat
tersebut untuk mencuci otak & rekrut anggota. Waspada…. jangan sampai anda
terjebak…!!!
Firman
Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……
Para
ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah.
Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan
menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak terhadap orang yang
tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar
atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim
siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam
dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan
maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya
karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil
sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak
dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam,
sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman
Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah “Barangsiapa tidak memakai
hukum Allah maka ia adalah orang kafir”, pemahaman harfiyah semacam ini salah
dan menyesatkan.
Al-Imam
al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa
ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn
Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh
ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini
dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun
seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak
menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi
kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas
terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak
memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia
digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan
dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud
dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain
penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat
banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran
Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku
umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam
pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa
perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun
seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap
menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia
digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada
di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
1.
Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu
pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti]
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang
Islam.
2.
Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa
Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa
dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan
demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud
adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm
Munasabat al-Ayat].
Kemudian
diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang
ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat
Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.
Sementara
menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur”
dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari
Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda,
masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya
sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau
lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur;
yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam
Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang
menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir
adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub
sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan
bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil,
maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam
kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari
sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah
(ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud
kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum
Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah:
“Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak
memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar
tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian
bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.
Pemahaman
semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki
muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan
“kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur”
yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan
artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi
kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh
Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan],
hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang
memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum
bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka
sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh
karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa
sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib,
sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian
semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin
yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar
dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar
ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang
notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang
tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir.
Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam
ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin
saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua
kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan
orang kafir.
Yang
ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku
gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang
yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup
dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim
bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di
antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara
manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid
Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang
tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun
negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai
hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan
rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini
menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan
Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal
al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2,
h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h.
1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang
lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir,
saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan
dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan
politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah,
seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan
al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal
gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap
ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham
Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan,
seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad,
al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut
adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang
kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di
antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan
politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh
beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan
kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali
lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah atau letterleg alias
tafsir cingkrang saja. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti
sama saja anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar