Sabtu, 09 Maret 2013

Gus Ali di Ponpes Roudlotul Ni’mah Tlogosari Semarang Santrinya dari preman hingga PSK



SIANG itu cukup terik. Kegiatan tidur siang seusai salat Duhur mungkin jadi pilihan pertama bagi kebanyakan orang. Namun tidak demikian dengan santri Pondok Pesantren Roudlotul Nikmah.
Puluhan santri justru terlihat sedang menyimak sebuah kitab berwarna kuning. Dipimpin seorang santri senior, mereka belajar kitab-kitab klasik tak berharokat di sebuah pesantren tak begitu luas di Jalan Supriyadi, Tlogosari, Semarang.
Suara gaduh layaknya orang belajar, terasa menyejukkan hati siapa pun yang mendengarnya, seolah membuktikan bahwa keberadaan puluhan santri itu memang untuk menuntut ilmu agama. Uniknya, di pintu masuk pesantren itu justru terlihat papan nama penunjuk persewaan alat-alat pesta, seperti meja kursi dan tenda.
Ternyata benar. Selain menampung santri untuk belajar agama lebih mendalam, pesantren Roudlotul Nikmah juga menyewakan alat-alat pesta. Menurut pengasuh Ponpes, KH Drs Mohammad Ali Shodiqin, banyaknya santri yang harus ‘dihidupinya’ membuat pengelola harus berpikir kreatif.
Jika hanya mengandalkan sodaqoh dari para dermawan, maka biaya operasional bulanan tidak akan pernah tercukupi.

Persewaan
“Pemasukan resmi yang kami terima per bulan hanya Rp 400 ribu, yang diberi-kan seorang pendonor tetap. Selain itu masih ada honor menjadi pembicara di pengajian yang alhamdulilah tak pernah sepi, jadi saya masih bisa menyisihkan pendapatan untuk biaya operasional para santri, selebihnya ya dari persewaan alat pesta ini,” ujar Gus Ali sembari menyebut kisaran angka Rp 15 hingga Rp 20 juta sebagai biaya pengeluaran perbulan.
Meski demikian, kiai yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Ali atau ada pula yang menyebutnya dengan Abah Ali, ini tidak ingin membebani para santri dengan pekerjaan menyewakan alat tersebut.
Tujuan utama mereka toh belajar ilmu agama seperti fiqih, hafalan quran, ilmu hikmah atau sekedar ingin belajar ilmu beladiri, kekebalan dan pengobatan.
Lalu apa bedanya dengan pesantren lain yang juga mengajarkan ilmu-ilmu tersebut? Secara tegas Gus Ali menyebutkan perbedaan mendasar adalah, pihaknya lebih banyak mengasuh dan menerima santri-santri dari golongan hitam.
Tercatat ada preman, gali, pengamen, anak jalanan bahkan PSK pernah menjadi santrinya. Meski tidak sedikit yang berasal dari kalangan umum seperti pekerja swasta, pelajar, mahasiswa bahkan pejabat.
Jadi jangan salah mengira, jika kiai gaul berambut gondrong nan nyentrik ini lebih sering kita jumpai di tempat-tempat dugem seperti diskotek dan kawasan Simpanglima, karena hal tersebut semata-mata ia lakukan hanya untuk berdakwah. Hanya saja dengan metode yang berbeda.
Godaan
Menurutnya, dakwah tidak saja dilakukan melalui pengajian saja, namun perlu pendekatan langsung dengan objek di lapangan. “Jadi, tidak hanya teori saja namun aplikasi langsung di tempat-tempat yang banyak mudharat-nya tersebut. Dan ternyata pendekatan seperti ini cukup berhasil, yah minimal mereka mengenal seorang ustadz dalam kehidupan kelam mereka,” ujarnya.
Namun metode semacam ini bukannya tidak menemui halangan. Banyak godaan yang harus dilalui mulai dari tawaran minum minuman keras, wanita bahkan narkotika.
Semua itu tidak pernah ditolaknya, meski bukan berarti ia ikut larut dalam kemaksiatan. Saat ditemui di pesantrennyapun, minuman keras berbagai jenis dan merek impor terlihat terpajang di satu sudut ruangan.
Semua botol yang masih tersegel itu, menurutnya, diperoleh dari pemberian para santrinya yang sudah bertobat dan tidak mungkin ditolaknya.  

Berikut Dakwa Mp3nya :  Download


Tidak ada komentar:

Posting Komentar