SIANG itu cukup terik. Kegiatan tidur siang seusai salat Duhur
mungkin jadi pilihan pertama bagi kebanyakan orang. Namun tidak demikian dengan
santri Pondok Pesantren Roudlotul Nikmah.
Puluhan santri justru terlihat
sedang menyimak sebuah kitab berwarna kuning. Dipimpin seorang santri senior,
mereka belajar kitab-kitab klasik tak berharokat di sebuah pesantren tak begitu
luas di Jalan Supriyadi, Tlogosari, Semarang.
Suara gaduh layaknya orang
belajar, terasa menyejukkan hati siapa pun yang mendengarnya, seolah
membuktikan bahwa keberadaan puluhan santri itu memang untuk menuntut ilmu
agama. Uniknya, di pintu masuk pesantren itu justru terlihat papan nama
penunjuk persewaan alat-alat pesta, seperti meja kursi dan tenda.
Ternyata benar. Selain menampung
santri untuk belajar agama lebih mendalam, pesantren Roudlotul Nikmah juga
menyewakan alat-alat pesta. Menurut pengasuh Ponpes, KH Drs Mohammad Ali Shodiqin,
banyaknya santri yang harus ‘dihidupinya’ membuat pengelola harus berpikir
kreatif.
Jika hanya mengandalkan sodaqoh
dari para dermawan, maka biaya operasional bulanan tidak akan pernah tercukupi.
Persewaan
“Pemasukan resmi yang kami terima per bulan hanya Rp 400 ribu, yang diberi-kan seorang pendonor tetap. Selain itu masih ada honor menjadi pembicara di pengajian yang alhamdulilah tak pernah sepi, jadi saya masih bisa menyisihkan pendapatan untuk biaya operasional para santri, selebihnya ya dari persewaan alat pesta ini,” ujar Gus Ali sembari menyebut kisaran angka Rp 15 hingga Rp 20 juta sebagai biaya pengeluaran perbulan.
Meski demikian, kiai yang lebih
dikenal dengan sebutan Gus Ali atau ada pula yang menyebutnya dengan Abah Ali,
ini tidak ingin membebani para santri dengan pekerjaan menyewakan alat
tersebut.
Tujuan utama mereka toh belajar
ilmu agama seperti fiqih, hafalan quran, ilmu hikmah atau sekedar ingin belajar
ilmu beladiri, kekebalan dan pengobatan.
Lalu apa bedanya dengan
pesantren lain yang juga mengajarkan ilmu-ilmu tersebut? Secara tegas Gus Ali
menyebutkan perbedaan mendasar adalah, pihaknya lebih banyak mengasuh dan
menerima santri-santri dari golongan hitam.
Tercatat ada preman, gali,
pengamen, anak jalanan bahkan PSK pernah menjadi santrinya. Meski tidak sedikit
yang berasal dari kalangan umum seperti pekerja swasta, pelajar, mahasiswa
bahkan pejabat.
Jadi jangan salah mengira, jika
kiai gaul berambut gondrong nan nyentrik ini lebih sering kita jumpai di
tempat-tempat dugem seperti diskotek dan kawasan Simpanglima, karena hal
tersebut semata-mata ia lakukan hanya untuk berdakwah. Hanya saja dengan metode
yang berbeda.
Godaan
Menurutnya, dakwah tidak saja dilakukan melalui pengajian saja, namun perlu pendekatan langsung dengan objek di lapangan. “Jadi, tidak hanya teori saja namun aplikasi langsung di tempat-tempat yang banyak mudharat-nya tersebut. Dan ternyata pendekatan seperti ini cukup berhasil, yah minimal mereka mengenal seorang ustadz dalam kehidupan kelam mereka,” ujarnya.
Menurutnya, dakwah tidak saja dilakukan melalui pengajian saja, namun perlu pendekatan langsung dengan objek di lapangan. “Jadi, tidak hanya teori saja namun aplikasi langsung di tempat-tempat yang banyak mudharat-nya tersebut. Dan ternyata pendekatan seperti ini cukup berhasil, yah minimal mereka mengenal seorang ustadz dalam kehidupan kelam mereka,” ujarnya.
Namun metode semacam ini
bukannya tidak menemui halangan. Banyak godaan yang harus dilalui mulai dari
tawaran minum minuman keras, wanita bahkan narkotika.
Semua itu tidak pernah
ditolaknya, meski bukan berarti ia ikut larut dalam kemaksiatan. Saat ditemui di
pesantrennyapun, minuman keras berbagai jenis dan merek impor terlihat
terpajang di satu sudut ruangan.
Semua botol yang masih tersegel
itu, menurutnya, diperoleh dari pemberian para santrinya yang sudah bertobat
dan tidak mungkin ditolaknya.
Berikut Dakwa Mp3nya : Download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar