Tahlilan,
Maulidan, yasinan, kok dianggap “Bid’ah” kenapa? Alasanya? Dalilnya ?
bismillahirahmanirahim
kawanku semua yang dirahmati
Allah, banyak seakali diantara kita yang membidahkan acara tahlilan dan
yasinan, acara tahlilan hari ke 7, 40, 100 dan 1000. padahal tahlilan dan
yasinan adalah tuntunan para wali songo, orang yang sangat berjasa besar dalam
penyebaran islam di indonesia, dakwah mereka melalui kultural dan budaya,
mendekati dari hati ke hati sehingga orang berbondong-bondong masuk islam karena
keihlasana hatinya bukan sebuah keterpaksaan. untuk itu yang masih mengganggap
itu sesat dan akan masuk neraka, alangkah baiknya kita kaji dimana sesatnya…?
dalilnya kuat gak? tafsiranya sesuai gak… sanadnya ada gak? ato sekedar
menafsirkan dan menyomot dalil yang gak jelas. ingat ulama itu pewaris para
nabi, ilmu para walisanga jauh lebih tinggi daripada ilmu kita, dan jasa mereka
sangat besar , kita pun gak mampu menyamainya? lantas apakah kita serta merta
membidahkan apa yang mereka ajarkan? sungguh sombongnya kita, jika demikian…
jangan cuma asal ikut sana,
ikut sini.. tanpa tahu dari mana asalanya.. sepeti mengikuti gerakan
Wahabi yang berkembang di Indonesia yg berasal dari Arab Saudi. Tujuan mereka
ingin mengajarkan pemurnian Islam versi mereka, versi mereka lho,
bukan mengikuti rosulullah to maghdab 4, sementara ajaran lain dianggap tidak
benar dan harus diperangi. aliran Wahabi cukup berbahaya dan mengancam
kelangsungan hidup Islam. Sebab aliran ini banyak menjalakan amalan-amalan yang
justru tidak sejalan dengan ajaran Islam.
perlu diingat saja. AL Hafidh
adalah Ahli hadits yg hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum
matannya, dan Al Hujjah adalah yg hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad
dan hukum matannya, sebagaimana Imam Nawawi yg telah melebih derajat Al hujjah
sehingga digelari Hujjatul Islam, demikian pula Hujjatul Islam Imam Ghazali,
demikian pula Hujjatul Islam Imam Ibn Hajar AL Asqalaniy dan banyak lagi,
dan Imam Ahmad bin Hanbal
(hambali) ia hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia
adalah Murid Imam Syafii, dan ia berkata : “tak kulihat seorangpun lebih
menjaga hadits seperti Imam Syafii.
wahabi itu tak satupun yg sampai jadi ahli hadits.
wahabi itu tak satupun yg sampai jadi ahli hadits.
mereka juga tak punya sanad,
berkata para ahli hadits: “Tiada ilmu tanpa sanad”
kita ahlussunnah waljamaah
tak mau ilmu yg tak ada sanadnya, kita bicara syariah kita punya sanad, kita
bicara tauhid kita punya sanad, kita bicara hadits kita punya sanad kepada para
ahli hadits, kita punya sanad kepada Imam Bukhari, kita punya sanad kepada
Kutubussittah, kita bicara fiqih madzhab kita punya sanad kepada Imam Imam
Madzhab.
mereka wahabi itu tak punya
sanad, hanya nukil nukil dari buku, lalu mengaku sebagai ahli hadits, padahal
dalam pendapat para ahli hadits tidak diterima ucapan nukil nukil, mesti ada
sanad periwayatnya, menurut para ahli hadits tak bisa kita shalat lihat dari
buku, tapi mesti : “aku rukuk melihat si fulan seperti ini ruku’nya, dan aku
tahu dia orang terpercaya, aku tahu dia shalih, aku tahu dia berilmu, aku tahu
dia tsiqah, aqil,. baligh, dan rasyiid (bisa dipercaya untuk diikuti), dan aku
tahu bahwa dia itu ruku’nya mengikuti gurunya, si fulan, yg juga orang mulia,
dan gurunya itu rukuk mengikuti gurunya lagi yaitu…., demikian hingga
Rasulullah saw.
dengan cara ini baru ruku
kita diterima, kalau tak punya riwayat maka dhoif, omongannya tak didengar,
fatwanya tertolak, dan ucapannya tak bisa dijadikan rujukan fatwa,
inilah keadaan kita
ahlussunnah waljamaah, kita lihat guru kita, bukan nukil dari buku, demikian
dalam pelbagai ibadah kita punya guru, berbeda dengan mereka, tak punya guru,
hanya nukil nukil dari buku lalu berfatwa,
lalu yg lucu, mereka mengaku
merekalah madzhab ahlul hadits ,ini seperti orang yg membuka kursus meenjahit
padahal ia sendiri tak tahu menjahit itu apa.
maka berhati-hatilah kawan
atas dampak ajaran wahabi yangt berada diindonesia.. yang selalu membidahkan
segala aspek maslah… mari kita kaji dulu bersama
sebuah kisah menarik bacalah
dengan seksama…….
Disebuah desa di daerah
Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan memiliki lembaga
pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai
Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai
pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang
putra yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap
Sang Pencipta.
Sebagai calon pengganti si
Anak -sebut saja Gus Zaid- ia ‘titipkan’ pada lembaga-lembaga pendidikan agama
yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini
dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru
yang ‘alim’ lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam
dilahirkan.
Saat Gus Zaid masih dalam
penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat. Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh
keluarganya.
Seperti lazimnya adat
kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan tradisi-tradisi yang
indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat
acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena
semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid’ah. Tapi saat ini ia mampu
bersabar.
Saat seorang Kyai tetangga
yang juga teman Kyai Fulan, –sebut saja Kyai Umar– memberikan sambutan atas
nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini
dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai
Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid
yang semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi
bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: “Tidak ada
tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid’ah dan doa orang yang masih
hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil
insani illa ma sa’a. Sekian terima kasih!”. Lalu ia berikan lagi mikrofon
itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget.
Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. “Benar saudara-saudaraku
sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Karena Gus Zaid sudah
mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan.
Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga
dosa-dosa tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak
pernah dimasukkan ke dalam Surga!”.
Para pelayat serentak
meneriakkan, “Amiiiiin!”.
Gus Zaid: “?????”. “Kok
mendoakan begitu untuk bapakku”.
Kyai Umar dengan enteng
menjawab: “Kan Allah berfirman, wa an laysa lil insani illa ma sa’a?”.
Gus Zaid: Ya sudah nanti
malam tahlilan…..!
Sampainya Do’a
Kepada Orang Yg Sudah Meninggal
Fadhilatusy Syaikh
asy-Sya’raawi dalam himpunan fatwanya “al-Fatawa” mukasurat 201-202
menyatakan seperti berikut:-
Telah disebut oleh asy-Syaikh
al-’Adawi rhm. dalam “Masyaariqul Anwaar” bahawasanya:- “Telah sepakat
atas sampainya (pahala) sedekah kepada si mati. Tidak ada bezanya sama ada
sedekah tersebut dilakukan jauh dari kubur si mati atau dekat. Dan demikian
jugalah pada doa dan istighfar.” Dan telah berkata al-Imam al-Qurthubi bahawa
telah ijma` sekalian ulama atas sampainya (pahala) sedekah kepada orang-orang
mati, dan demikian pula perkataannya pada bacaan al-Quran, doa dan istighfar
yang dikuatkannya dengan hadis: ” Dan setiap ma’ruf itu adalah sedekah“.
Demikian lagi dikuatkannya dengan hadis Junjungan s.a.w.: ” Orang mati
itu di dalam kuburnya seperti orang lemas yang meminta-minta pertolongan. Dia
menunggu doa berhubungan dengannya daripada saudaranya atau sahabatnya, maka
mendapat doa tersebut adalah lebih baik baginya dari dunia seisinya.”
Dan juga dalil atas sampainya pahala tadi ialah hadis Junjungan s.a.w.: “Sesiapa
yang melalui perkuburan lalu membaca Suratul Ikhlash 11 kali, kemudian
dihadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati, dikurniakan pahala baginya
sebanyak bilangan orang-orang mati tersebut.” Adalah al-Imam Ahmad bin
Hanbal berkata:- “Apabila kamu memasuki kawasan perkuburan, maka kamu bacalah
al-Fatihah dan al-Mu`awwidzatain dan Suratul Ikhlash dan kamu jadikanlah pahala
yang sedemikian itu buat ahli kubur tersebut, maka bahawasanya pahala tersebut
sampai kepada mereka.”
Tok Syaikh Daud al-Fathani
pula dalam “Bughyatuth Thullab” juzuk 2 mukasurat 33 menulis:-
(Faedah) Telah datang
daripada salaf bahawasanya barangsiapa membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sebelas
kali dan dihadiahkan pahalanya bagi ahli kubur , diampun Allah ta`ala dosanya
dengan sebilang-bilang orang yang mati di dalam kubur itu dan riwayat yang lain
diberi akan dia pahala sebilang orang yang mati padanya.
Sa’ad Azzanjani meriwayatkan
hadits dari Abu Hurairah RA dengan hadits marfu’:
BARANG SIAPA MEMASUKI
PEKUBURAN KEMUDIAN MEMBACA FATIHAH,QUL HUWALLOHU AHAD,ALHA KUM ATTAKATSUR
KEMUDIAN DIA BERKATA: YA ALLAH AKU MENJADIKAN PAHALA BACAAN KALAMMU INI
UNTUK AHLI KUBUR DARI ORANG-ORANG MU’MIN,MAKA AHLI KUBUR ITU AKAN MENJADI
PENOLONGNYA NANTI DI HADAPAN ALLAH SWT…..
Abdul Azizi Shahib
Al-kholllal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dalam hadits marfu’:
NABI SAW BERSABDA:
BARANGSIAPA YANG MEMASUKI
PEKUBURAN KEMUDIAN DIA MEMBACA YASIN, MAKA ALLAH AKAN MERINGANKAN SIKSAAN
MEREKA,DAN DIA AKAN MENDAPATKAN PAHALA AHLI KUBUR TERSEBUT…...
kawanku semua yang baik
ada orang yang bertanya
kepada habieb lutfi pekalongan. Saya pernah membaca buku yang menyatakan
sesatnya tarekat dan mengharamkan
membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir
disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin
bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga
semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid
yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat
pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian
berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon
penjelasan, apa batasan bid’ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid
secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jabir Ibnu Hayyan
jawaban habieb.
Islam adalah agama yang
universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur’an. Orang yang mempelajari
Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia
perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak
diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur’an.
Islam itu luwes. Sebab
kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para
sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa
terjadi di zaman tabi’in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah
para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.
Mestinya para ulama itu dapat
memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan
zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa menjawab persoalan.
Al-Qur’an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup
memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.
Misalnya saja, pada zaman
Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun,
kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara
syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman,
contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk
melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini
tidak dibenarkan?
Untuk masalah zikir, siapa
yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu
Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi
(saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha
Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah
berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang
siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku.”
Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?
Selanjutnya, mohon maaf,
sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid’ah, ada
baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran
dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya
bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai
ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui,
termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu
telah mengatakannya sebagai bid’ah.
Apakah sejauh itu prasangka
kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan
hanya kita sendiri yang mengerti bid’ah?
Harap diingat, melihat figur
jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang
alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui
arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat,
rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah
yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal
dan haram. Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita
masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang
masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada
ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang
sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti,
kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi
harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.
kawanku semua yang baik
Tahlil telah menjadi
perdebatan yang sampai sekarang belum belum menacpai kesepakatan. Tanpa ikut
berpolemik, sedikit kami urai permasalahan tahlil dan tawassul yang
menurut sebagian orang dianggap bid’ah dan syirik.
Arti tahlil secara
lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah. Namun
kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa
dzikir, alqur’an dan do’a tertentu yang dibaca untuk mendo’akan orang yang
sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti
itu.
Tahlil pada mulanya
ditradisikan oleh Wali Sanga. Seperti yang telah kita ketahui, yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di indonesia adalah Wali Sanga. keberhasilan
da’wah Wali Sanga ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes
mereka tidak secara frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar
kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya
diganti dengan nilai nilai islam, tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak
famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan bukannya mendo’akan
simati malah bergadang dengan bermain judi atau mabuk mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian
diatas sebelum Wali Sanga tidak dikenal.
1. Kalau begitu Tahlil itu
bid’ah! Setiap perbuatan bid’ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?
Tunggu dulu, anda berada
didepan Komputer ini juga bid’ah sebab tidak pernah di kerjakan oleh nabi S A W
kalau begitu anda sesat dan masuk neraka? Akal sesat pasti menolak logika
seperti ini. it’s jangan salah menafsirkan bid’ah….
Ulama membagi bid’ah menjadi
dua ,bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah , sedangkan bid’ah hasanah
sama sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi
ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh nabi atau tidak , namun lebih luas dari
itu, apakah sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan syariat disini
tentu saja dalil dalil alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma’ dan qiyas .
jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka
sesat.
Sekarang kita lihat apakah
dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari’at ? tidak ada, tahlil adalah serangkaian kalimat yang berisi
dzikir, bacaan alqur’an, yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat,
biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit ,
rangkaian bacaan yang ada mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat,
dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang bertentangan dengan syariat.
Jika yang dipermasalahkan
adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan menemui ujng usai,
sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing masing ada yang mengatakan
pahalanya bisa sampai ada yang mengatakan tidak, pendeknya ulama’ sepakat,
untuk tidak sepakat ya sudah jangan dipermasalahkan lagi. itu
urusanmu….
Hemat kita urusan pahala
adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa di interfensi oleh siapapun. Kita
yang membaca tahlil esensinya kan berdo’a semoga pahala bacaan kita disampaikan
kepada mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH
Sahal Mahfud, kajen berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi
hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami
dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada
Allah.
2. Hukum memberi jamuan
dalam tahlilan
Memberi jamuan yang biasa
diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulamaa
yang mengatakan bahwa semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang,
dianjurkan dengan berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi
jamuannya adalah termasuk sadaqah”yang, memang, dianjurkan oleh agama menurut
kesepakatan ulama’. — yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati. Dan
lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu,(1) ikramud
dlaif (memulyakan tamu) (2) bersabar menghadapi musibah. (3) tidak
menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Ketiga masalah tersebut,
semuanaya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT
serta pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan
tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.
Apabila biaya jamuan tersebut diambilakan harta ahli waris yang berstatus
mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak bolehkan.
nah jika harus jual barang berharga
dan segala macemnya gimane,?
bukan tahlilanya yang salah, cara orang tersebut
menyikapi hakekat tahlilan yang harus diluruskan, itulah yang menjadi polemik
masyarakat saat ini..
Namun demikian shadakah itu
sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang pahalanya dihadiahkan
pada mayit seperti penjelasan diatas. ada beberapa ulama’ seperti Syaikh
nawawi syaikh isma’il dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang
telah meninggal dunia itu sunnah(matlub) Cuma hal itu tidak boleh disengaja
dikaitkan dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat.
Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Ma’khod : Nihayatuz
zain(281) , I’anatut talibin 11/166
والتصدق عن الميت بوجو شرعي
مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييد بعض الايام من العوائد
فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث
من موته وفىسابع وفى تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة
حولا فى يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاوى اما الطعام الذى يجتمع عليه
الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال اليتام والا فيحرم
كذافى كشف اللثام
نهاية الزين 33281
ومنها مسألة مهمة ولأجلها كانت
هذه الرسالة. وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها للأكل. فان ذلك
جائز كما يدل عليه الحديث المذكور بل هو قربة من القرب لأنه اما أن يكون بقصد جصول
الأجر والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق. واما أن يكون
بقصد اكرام الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار الحزن وذلك أيصا من القربات
والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان ذلك يوم
الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث
نص صريح فى مشروعية ذلك. الى قوله
وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا
لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين والا فيجب ذلك عملا بوصيته
وتطون الوصية معتبرة من الثلث أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة-ج 3 ص 208.
قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين 175 -181
sahabatku yang dirahmati
Allah,
kata “tahlilan “ memang
didalam masa rosul tidak ada, tapi apa yang dibaca didalam tahlilan rosul
mencontohkannya, nah inilah tuntunan, istilahnya memang belum ada, tapi
isinya sudah dari dulu Rosul menyuruh kita mengerjakannya, itulah karena
pandainya para ulama dalam menyusun suatu isitlah (tahlilan) kemudian
mengumpulkan bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat dan
bacaan lainnya. Dengan kata lain mengadakan acara Tahlilan dengan tujuan untuk
memohon kepada Allah SWT., agar kerabat atau keluarga yang telah dipanggil
kehadirat-Nya mendapatkan ampunan dan tempat yang layak disisi-Nya, serta
berbahagia di alam kubur sana.
lihatlah satu isinya, secara
dzahir saja isi daripada tahlilan tersebut sangat baik, karena berisi
bacaan-bacaan dari Al Qur’an dan surat-surat yang sudah terkenal tentang
fadhilah atau keutamaan surat tersebut, contohnya surat alfatihah..
diriwayatkan oleh sayyidina
Ibnu Abbas dalam kitab Shahih Muslim :
أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ اُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيْمُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا اِلاأَعْطَيْتُهُ [2
“Bergembiralah engkau
(Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan beleum pernah
diterima oleh nabi sebelummu yakni surat Al Fatihah dan beberapa ayat terakhir
surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau
akan diberi imbalannya. (Shahih Muslim, 1339)
Selain dari surat Al Fatihah
masih banyak lagi surat-surat dalam bacaan tahlil yang terkenal akan fadhilah
atau keutamaan surat tersebut, seperti surat Al Ikhlas, Al Falaq, Annas dan
juga surat Yasin. Disamping itu tahlilan juga memuat do’a-do’a yang diajarkan
oleh Rasulullah,
dalam hal ini, siapa yang
cerdas jawabnya jelas para ulama, yang lebih paham tentang alquran dan hadist,
yang karena kecerdasaan ingin memudahkan bagi orang awam agar selalu
mengerjakan amalan baik yang dirangkum dalam wadah tahlilan yang isinya
semua dicontohkan rosul saw. mulane yuk do ngaji, ngilangke kebodohan,
ngerisiki ati, golek ridhane gusti illahi robby..
dahulu ketika ada salah
seorang meninggal dunia, maka yang dilakukan oleh keluarga, kerabat dan para
tetangga adalah meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman. Setelah para muballegh
datang secara berangsur-angsur, kemudian mereka berusaha dengan sabar dan
perlahan-lahan diajak membaca atau mengucapkan kalimah thayyibah dan bacaan-bacaan
lainnya. apakah ini tidak baik, jelas ini baik sekali, bagaimana jika
tradisi meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik,
seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman tidak diganti dengan membaca
kalimat thayyibah dan doa2 yang baik ?, bisa dipastikan tradisi buruk
itu akan diteruskan sampai generasi sekarang, tak bisa membayangkan..
apa sih tahlilan itu ?
Kata tahlil atau tahlilan
secara bahasa berasal dari bahasa arab dengan fiil madhi هلل ، يهلل ، تهليلا yang artinya mengucapkan kalimah thayyibah لا اله الا الله . dengan
kata lain yaitu “pengakuan
seorang hamba yang mengi’tikadkan bahwa tiada tuhan yang wajib di sembah
kecuali Allah semata” Sedangkan
menurut istilah tahlilan artinya “bersama-sama mengucapkan kalimah thayyibah
dan berdo’a bagi orang yang sudah meninggal dunia
Dalam uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa tahlil adalah bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang
sudah meninggal dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau
majlis-majlis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh
Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid,
tasbih, tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Indonesia merupakan salah
satu Negara yang memiliki bermacam-macam budaya, salah satunya adalah tahlilan.
Hal tersebut yang telah dipaparkan oleh almarhum KH. Muchit Muzadi, yang
mengatakan petikan hadits, “Waladun Shalihun Yad’u lahu” (anak shaleh
yang mendoakan orang tuanya) ini dirangkaikan atau direalisasikan dengan
tradisi yang ada di Indonesia. Khususnya di daerah Jawa apabila ada tetangga,
kerabat atau saudara yang meninggal dunia, maka para tetangga atau kerabat
biasanya “jagongan” (berbincang-bincang). Dengan jagongan itu mereka
membicarakan orang, terus “keademen” (kedinginan), mereka cari minuman
yang hangat-hangat sambil main kartu dan lain-lain. Tradisi itu berlangsung
lama, hingga ketika para mubaligh Islam, Walisongo atau kyai, menerapkan “yad’u
lahu” ini dirangkaikan dengan jagongan dan “mele’an” (begadang),
yang memang prosesnya lama. Kemudian yang dulunya melean dilakukan dengan
minum-minuman dan main kartu kemudian diganti dengan bacaan-bacaan Al Qur’an
dan do’a-do’a hingga kemudian muncul apa yang dikenal saat ini dengan istilah
tradisi ritual tahlilan
kecerdasan para mubaligh dan
keahlian dalam berdialog dan negosiasi dengan agama dan tradisi lokal. Sehingga
Islam mudah diterima di Indonesia dengan baik dan bertahan lama, tidak seperti
di sebagian Negara eropa yang perkembangan Islam dilakukan dengan cara
peperangan, walaupun hasilnya cepat atau maksimal tapi kekuasaan Islam didaerah
tersebut tidak berlangsung lama. Seperti di Spanyol, Turki dan lain-lain
Seringkali terjadi ekses
(berlebih-lebihan) di dalam pelaksanaan tahlilan, baik mengenai “frekuensi”-nya
maupun suguhannya atau ekses dalam sikap batinnya (seperti merasa sudah pasti
amal orang yang ditahlili diterima Allah SWT dan segala dosanya sudah diampuni
oleh-Nya, kalau sudah ditahlili atau dihauli). Sikap “memastikan” inilah yang
bertentangan dengan syari’at agama. Ekses-ekses inilah yang harus menjadi
garapan wajib para pemimpin umat, untuk meluruskannya. Memang masih banyak
amalan-amalan kaum muslimin yang belum sesuai benar dengan ajaran Islam.
Sedangkan agama Islam sudah sempurna, tetapi dalam kenyataanya kebanyakan
pengamalan kaum muslimin tidak sesempurna Islam itu. Maka dari itulah tahlilan
sering jadi bahan perdebatan bagi kelompok yang tidak setuju dengan tahlilan
ataupun kelompok pembaharu yang sengaja ingin membumi hanguskan acara ritual
tahlilan karena dianggap sesat, bid’ah dan tidak mempunyai landasan-landasan
yang kuat.
Dalam Artikel karangan Drs.
KH. Ahmad Masduqi yang berjudul “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Ijtihad”
Ritual Tahlilan atau upacara selametan untuk orang yang meninggal, biasanya
dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ke-tujuh atau bahasa jawanya mitung
dina, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama,
kedua, ketiga dan seterusnya, dan ada juga yang melakukan pada hari 1000. Dalam
upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca
beberapa ayat dan surat Al Qur’an, dan szikir seperti : tahlil, tasbih, tahmid,
shalawat dan do’a-do’a, pahala bacaan Al Qur’an dan dzikir tersebut dihadiahkan
kepada si mayit. Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh
para da’I terdahulu dari upacara kepercayaan animisme, agama budha dan hindu
yang kemudian diganti dengan ritual yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits.
Menurut kepercayaan Animisme,
Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan datang
kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak
ada orang ramai yang berkumpul-kumpul mengadakan upacara-upacara sesaji,
seperti membakar kemenyan, dan sesaji kepada yang ghaib atau ruh-ruh ghaib,
maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) kedalam jasad orang
yang masih hidup dari keluarga si mayyit. Maka untuk itu semalaman para
tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera
atau sekedar berkumpul-kumpul. Hal seperti itu dilakukan pada malam pertama
kematian, selanjutnya malam ketiaga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan
malam ke-1000. ٍSetelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan
tersebut masuk islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai
langkah awal, para da’I terdahulu
tidak memberantasnya tetapi mengalihkan dari upacara yang bersipat Hindu dan
Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan islam. Sesaji diganti dengan nasi
dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera-mantera diganti dengan dzikir, do’a dan
bacaan-bacaan Al Qur’an. Upacara seperti ini kemudian dinamakan Tahlilan yang
sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyaraka
Sebelum agama Hindu, Budha
dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia antara
lain adalah paham animisme. Menurut paham ini ruh dari orang-orang yang sudah
mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang
masih hidup di dunia ini. Disamping itu bangsa-bangsa yang menganut paham
Animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh orang yang sedang mengalami kematian
itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan
ingin mengajak anggota keluarganya yang lain.
Untuk itu agar anggota
keluarga yang mati itu tidak mengajak keluarga yang lain, maka anggota keluarga
yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut:
1. Menyembelih binatang
ternak seperti : kerbau, sapi, kambing, babi atau ayam milik si mayyit, agar
nyawa binatang tersebut menemani ruh si mayyit, agar ruh si mayyit tidak marah
kepada anggota keluarganya.
2. Setelah tiga hari dari
kematian, yaitu saat si mayyit yang sudah ditanam di dalam kubur mulai
membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang jawa di atas buffet yang
telah dipasang fotto dari orang yang mati bagi orang cina, diberikan sesaji
agar ruh dari orang yang mati tidak marah, demikian pula pada hari ketujuh,
keempat puluh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari
kematian.
3. Bagi orang cina, anggota
keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari lamanya dan selama
itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau lainya untuk
mengenalkan kepada ruh si mayyit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya
diberi silang. Dan setelah si mayyit dikubur, maka tanda silang tersebut di
buang, dengan maksud agar apabila ruh si mayyit tersebut pulang kerumahnya, ruh
itu tersesat tidak dapat masuk kedalam rumahnya, sehingga tidak dapat menggangu
anggota keluarganya.
4. Bagi orang jawa ada yang
menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayyit sewaktu mayyit dibawa
ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si mayyit bahwa jalanya
dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan uang logam.
Sehingga jika ruh si mayyit ingin pulang kerumah untuk menggangu anggota keluarganya
dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya sudah
tidak ada lagi Karena beras kuningnya sudah di makan oleh ayam atau burung,
sedang uang sudah diambil oleh anak-anak. Adapula yang mengeluarkan jenazah
dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah
yang segera ditutup kembali setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi
dengan maksud agar ruh si mayyit tidak dapat lagi kembali ke rumah.
Pada waktu agam Hindu dan
Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat merubah tradisi yang
telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme tersebut, sehingga
tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia
dibawa oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo.
Pada saat Wali Songo datang,
tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar setelah ratusan dan bahkan
mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tapi hanya diarahkan dan
dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok
ajaran Islam.
Dengan demikian ritual Tahlil
khususnya yang ada di Indonesia, adalah hasil dari negosiasi antara agama
pribumi dengan agama Islam yang datang kemudian, , yang dilakukan oleh para
ulama dan wali songo, dan mereka tentunya mengerti akan kondisi bangsa
Indonesia. karena manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkunganya.
cara mudah untuk memahami
islam adalah berfikir,
cobalah engkau berfikri
sejenak, isi tahlilan ini, dimana letak tercelanya....
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
اّلتَّهْلِيْل
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ
الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمِ وَأَلِهِ وَأَزْوَاجِهِ
وَأَوْلادِهِ وَذُرِّيَاتِهِ. الفاتحة………..
ثُمَّ إلِىَ حَضْرَةِ
إِخْوَانِهِ مِنَ الانبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالاوْلِيَاءِ وَالصَّحَابَةِ
وَالتَّابعِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ
الْمُخْلِصِيْنَ وَالْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخ
عَبْدُالْقَادِرْ الَجَيْلانِى. الفاتحة………………………
ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ
الْقُبُوْرِمِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسلِمَاتِ وَِالمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الارْضِ إلى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وََبَحْرِهَا
خُصْوُصًا إلى أبَائِنَا وَأُمَهَاتِنَا وَأَجْدَادِنَا وَجَدَاتِنَا
وَمَشِّايَخِنَا وَمَشَايِخِ مَشَايِخِنَا وَأَسَاتِذَاتِنَا وَأَسَاتِذَةِ
أَسَاتِذَتِنَا وَلِمَنْ إِجْتِمَعِنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ. الفاتحة……………………
Dan ada juga yang setelah
membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin kemudian
dilanjutkan dengan surat yang ada dibawah ini.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1)
اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ (4) لأإله إلاالله X 1
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ
أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ
الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3)
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
(5)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ
أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
(1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
(4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ
أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ
الْرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ (7)
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَّاحِدْ, لَااِلَهَ
اِلَّا هُوَ الرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا
بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ
يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (284)
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ
آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا
وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا
حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا
طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ
مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
إِرْحَمْنَا يَاأَرْحَمَ
الرَّحِمِيْنَ
رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهَ
عَلَيْكُم أهْلَ الْبَيْتِ إنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. إنَمَا يُرِيْدُ اللهِ
لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهَّرُكُمْ تَطْهِيْرَا.إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56)اَللَّهُمَّ صَلِّى
أَفْضَلَ الصَلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوقَاتِكَ نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ. عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ.
وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغاَفِلُوْنَ . اَللَّهُمَّ صَلىِّ اَفْضَلَ الصَّلَاةِ
عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ شَمْسِ الضُّحَى سَيِّدِنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَمَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَكَلِمَاتِكَ
كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ
اَللهَّمَ صَلِّى أَفْضَلَ الصَّلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ بَدْرِ
الدُّجَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ .
وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ . وَسَلَِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعََالىَ
عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ . حَسْبُنَا اللهُ
وَنِعْمَ الوَكيِلْ. نِعْمَ الَموْلَى وَنِعْمَ النَّصِير. وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ
إلابِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ . أَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ .3X
أَفْضَلُ الذِكْرِ فَاعْلَمْ
أَنَّهُ :
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ
مَوْجُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ
مَعْبُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ باَق
لاإله إلاألله ….. X 100
لاإله إلاألله محمد رسولالله
أللهم صلى على سيدنا محمد,
أللهم صلى عليه وسلم X 3
أللهم صلى على سيدنا محمد يارب
صل عليه وسلم X1
سبحان الله وبحمده . سبحان
الله العظيم …….. X7
سبحان الله وبحمده . سبحان
الله العظيم وبحمده ….. X3. أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله
وصحبه وسلم ……… X 3
. أللهم صل على حبيبك سيدنا
محمد وعلى اله وصحبه وبرك وسلم أجمعين . الفاتحة ………….
دعا الفاتحة
بِسْمِ اللهَِ الرَحْمَنِ
الرَحيْمِ الَحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . اَلَّلهُمَّ صَلِّى عَلَى
سَيِّدِنّا مُحَمَّدٍ فِي الاَوَّلِيْنَ . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ فِي الاَخِرِيْنَ. . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي
المَلَاءاِلاَعْلَى إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ وَاَوْصِلْ
ثَوَابَ مَاقَرَأْنَاهُ مِنَ القُرْأَنِ العَظِيْمِ . وَمَا قُلْنَا مِنْ قَوْلِ لَااِلَهَ
اِلَّا الله وَمَا سَبَّحْنَاهُ وَبِحَمْدِهِ . وَمَا صَلَّيْنَاُه عَلَى
النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِى هَذَا المَجْلِسِ
المُبَارَك , هَدِيَّةً وَاصِلَةً , وَرَحْمَةً نَازِلَةً , وَبَرَكَةََ شَامِلَةً
, وَصَدَقَةً مُتَقَبَّلَةً , نُقَدِّمَ ذَلِكَ وَنُهْدِيْهِ اِلَى حَضْرَةِ
سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِيْنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ صَلَى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ أَبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ
الاَنِبيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ . صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَمُهَُ عَلَيْهِ
وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ .وَإِلَى رُوْحِ أَلِ كُلِّ وَالصَحَابَةِ
وَالقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَّابِعِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَاِن
إِلَى يَوْمِ الدَّيْنِ . ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ القُبُوَْرِ مِنَ
المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمًؤْمِنَاتِ الاَحْيَاءِ
مِنْهُمْ وَالَامْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الاَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَابَرِّهَا
وَبَحْرِهَا خُصُوصًا إِلَى أَبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَسَاتِذَتِنَا
وَأَسَاتِذَةِ أَسَاتِذَتِنَا وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ
وَلِاَجْلِهِ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ (لها / لهم ) وَارْحَمْهُ (لها / لهم )
وَعَافِهِ (لها/ لهم ) وَعْفُ عَنْهُ (لها / لهم ) وَوَالِدِيْنَا وَوَالِدِيْهِمْ
وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ . اَللَّهُمَّ اجْبُرْانكِسَارَنَا وَاقْبَلِ
اعتِذَارَنَا واَخْتِمْ باِلصَّالِحَاتِ أَعْمَالَنَا وَعَلَى الاِيْمَانِ
وَالاِسْلَامِ جَمِيْعًا تَوَفنَّاَ . وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا . وَلَاتُخَيِّبْنَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمِّا
يَصِفُوْنَ . وَسَلَامٌ عَلَى المُْرسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ
العَالَمِيْنَ . الفاتحة…………………
Dalam uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa tahlil adalah perkara yang baik (khair) bukan perkara
yang buruk (sayyiah) karena berisikan shalawat, tasbih, tahmid, tahlil
dan do’a-do’a yang bagus serta tahlil juga bisa melatih lisan untuk selalu
berdzikir kepada Allah
beberapa keutamaan tahlilan
yang populer
1. Surat Al Fatihah
روى مسلم في (صحيحه) سنده, عن
ابن عباس رضى الله عنهما قال: بينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه وسلم سمع
نقيضا من فرقه , فرفع رأسه فقال : ((هذا باب من السماء فتح اليوم لم يفتح قط الا
اليوم . فنزل منه ملك فقال: هذا ملك نزل الى الارض لم ينزل قط الا اليوم . فسلم
وقال: أبشر بنورين أوتتهما لم يؤتهما نبي قبلك , فاتحة الكتاب وخواتيم سورة البقرة
. لن تقرأ بحرف منهما الا أعطيتها)).[52]
“Dari Ibnu Abbas RA, ia
berkata, ketika Malaikat Jibril duduk bersama Nabi SAW, beliau mendengae suara
pintu terbuka dari atasnya. Kemudian Nabi SAW menengadahkan kepala. Malikat
Jibril AS lalu berkata, pada hari ini pintu langit dibuka dan belum pernah
dibuka sebelumnya. Malaikat turun kebumi yang tidak pernah turun kecuali hari
ini. Ia kemudian mengucapakan salam kepana Nabi SAW seraya berkata,
bergembiralah engakau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu
dan belum pernah diterima oelh Nabi sebelumnya, yakni surat Al Fatehah dan
beberapa ayat terakhir Surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari
keduanya kecuali engkau akan diberi imbalanya.”
وروى البخري في (صحيحه) بسنده,
عن أبي سعيد ابن المعلى رضي الله عنه قال : كنت أصلى, فدعانى النبي صلى الله عليه
وسلم فلم أجبه, قلت: يارسول الله إني كنت أصلى, قال : ألم يقل الله (استجيبوا لله
وللرسول إذا دعاكم) ثم قال : الا أعلمك أعظم سورة في القرأن قبل أن تخرج من
المسجد. فأخذ بيذي, فلما أردنا أن تخرج قلت: يا رسول الله . إنك قلت :لأعلمنك أعلم
سورة في القرأن , قال: (الحمد لله رب العالمين) هي السبع المثاني والقرأن العظيم
اللذي أوتيته)[54]
“Diriwayatkan dari Abi Sa’id
Bin Ma’ali RA, ia berkata, ketika saya sedang shalat, kemudian Nabi SAW
memanggil saya kemudian saya tidak menemui Nabi, kemudian saya berkata, ya
Rasulallah sesungguhnya saya telah melakukan shalat, kemudian Nabi berkata,
bukankah Allah telah berfirman “Istajibu lillahi Wa lirrosuli ida dakum”
kemudian Nabi Berkata, maukah kamu saya ajarkan surat yang agung yang ada dalam
Al Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid”, sambil memegangi tanganku. Kemudian
ketika saya hendak keluar maka saya berkata kepada rosul bahwa engakau mau
mengajarkan surat kepada saya, maka rasul menjawab, yaitu “Al Hamdu lillahi
Rabbil Alamin”. Dia adalah tuju ayat yang diulang-ulang dan juga Al Qur’an yang
paling agung yang diberikan kepadaku”.
Surat Al Ikhlas
روى البخرى فى (صحيحه) بسنده
عن أبى سعيد الخذرى رضي الله عنه أن رجلا سمع رجلا يقرأ : (قل هو الله أحد) يرددها
فلما أصبح جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكر له ذلك وكأن الرجل يتقالها .
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (والذي نفسي بيده إنها لتعدل ثلث القرأن)[55]
“Ada seorang laki-laki mendengar
seseoarang laki-laki lain yang sedang membaca surat Al Ikhlas dengan
berulang-ulang, tatkala pagi hari, laki yang mendengar itu mendatangi rosul dan
menyebutkan demikian seakan-akan laki-laki tersebut menganggap remeh terhadap
surat Al Ikhlas maka Rasul menjawab Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaanya,
sesungguhnya Al Ikhlas dapat membandingi sepertiga Al Qur’an.”
3. Surat Al Falaq dan Surat An Nas
وروي الترمذي بسنده عن عقبه بن
عامر الجهنى رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (قد أنزل علي أيات لم
ير مثلهن : قل أعوذ برب الناس. إلى أخر السورة . و قل أعوذ برب الفلق. إلى أخر
السورة)[56]
“Imam At Tirmidzi
meriwayatkan dengan sanadnya dari Uqbah Bin Amir Al Juhni RA. dari Nabi SAW.
Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadaku beberapa Ayat yang
Nabi belum melihat yang menyerupainya (yang menyamainya ) yaitu: Surat Annas
dan Surat Al Falaq”.
4. Bacaan Laa Ilaaha Il lallah
Pada sub bab pembahasan isi,
bacaan Tahlil sudah sedikit disinggung tentang keutamaan kalimah Thayyibah,
bahwa kalimat tersebut adalah sebaik baiknya dzikir seperti yang diriwayatkan
oleh Shahbat Jabir Bin Abdillah. Selain dari pada keutamaan tersebut, Kalimah
Thayyibah juga memiliki keutamaan yang lain diantaranya; Hadis yang
diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra.
وروى الترمذي بسنده عن أبي
هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا قَالَ عَبْدٌ لا
إله إلا الله قَطٌّ مُْحلِصًا إلا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ حَتَّى
تُفْضِي إلى العرشِ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ. [57]
“Tidaklah seorang hamba
mengucapkan Laa Ilaa Ha Illallah dengan penuh keikhlasan melainkan akan
dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga Laa Ilaa Ha Illallah dilaporkan
keatas selama ia menjauhi dosa-dosa besar.”
Dan masih bnyak lagi keutaman
daripada kalimah Thayyibah tersebut.
dalil alquran dan hadist
DALIL DARI ALQURAN
Seperti yang tersebut didalam
Al Qur’an:
1. Qs. Muhammad 19
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ
وَمَثْوَاكُمْ
“dan mohonlah ampunnan bagi
dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”[66]
Dari ayat tersebut
menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan
manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya.
2. Qs. Al Nuh 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي
وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
“Ya tuhanku ampunilah aku.
Ibu bapakku, orang yang masuk kerumahku dengan beriman, serta semua orang yang
beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi
orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan.”[67]
3. Qs. Ibrohim 40-41
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ
الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41)
“Ya tuhanku, jadikanlah aku
dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami,
perkenankanlah do’aku . Ya tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan
sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.”[68]
4. Qs. Al Hasyr 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan anshar), mereka berdo’a, ya tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau MahaPenyantun lagi
Maha Penyayang.”[69]
5. Qs. At Tur 21
وَالَّذِينَ آَمَنُوا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ
رَهِينٌ
“dan orang-orang yang
beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan
anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. Tiap-tiap mausia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”[70]
Mengenai ayat ini Syekh
‘Alauddin Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al Baghdadi memberikan penjelasan
sebagai berikut:
“kami menyamakan anak-anak
mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa
dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang
tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari
kedua orang tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya
menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka,
meskipun amal-amal mereka tidak sesuai dengan derajat orang tua mereka,
meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal
itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan
ini diriwayatkan dari Ibn Abbas ra.”[71]
6. Al-Baqarah : 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي
عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)
“dan apabila hamba-Ku
bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat, Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memnuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran .“[72]
Beberapa ayat dan keterangan
tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh
pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah
orang lain.
DALIL DARI HADIST
Selain dalil dari Al Qur’an
yang menerangkan bahwa, orang yang sudah meninggal dunia dapat merasakan
manfaat amaliyah orang lain, dalam hadispun tedapat keterangan yang menyatakan
hal tersebut. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Abu Hurairah ra.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاَء (سنن
الترمذى رقم 2784)
“Dari Abu Hurairah RA, Aku
mendengar Rosulullah SAW bersabda, Jika kamu semua menshalati mayit, maka
berdo’alah dengan ikhlas untuknya. (Sunan Al Tirmidzi, 2784)”[73]
Hadist tersebut secara jelas
menerangkan bahwa Rosulullah SAW memerintahkan kepada umat islam untuk
mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini
berarti bahwa do’a yang dibaca dengan ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang
dimaksud. Juga hadits lain menerangkan bahwa Rosul pernah mendo’akan orang yang
sudah mati seperti hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra.
عَنْ عَوْفٍ بْنٍ مَالِكِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ
وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَاَكْرِمْ نُرُلَهُ وَوَسِعْ مَدْخَلَهُ
وَاَغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالْثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِِّهِ مِنَ الْخَطَايَا
كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْاَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًا
خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلًا خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ
زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةًَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ
عَذَابِ النَّارِ (صحيح مسلم, رقم ..16)
“Diriwayatkan dari Auf bin
Malik RA, ia berkata, Rasulullah SAW pernah menshalati jenazah dan saya hafal
do’a Rasulullah SAW tersebut. Do’a yang beliau baca adalah, Ya Allah,
ampunillah dosanya, kasihanilah dia, selamatkanlah dan maafkanlah dia. Ya
Allah, baguskanlah tempat kembalinya, luaskanlah kediamanya, bersihkanlah ia
dengan air dan embun, bersihkanlah ia dari dosa-dosanya, sebagaimana Engkau
membersihkan baju putih nan suci dari kotoran. Berilah ia rumah yang lebih
bagus, karuniakanlah isteri yang lebih baik dari isterinya (ketika di dunia),
masukanlah ia kedalam surga, dan selamatkanlah ia dari siksa kubur dan siksa
api neraka.”[74]
Hadits tersebut menerangkan
bahwa Rasulullah SAW pernah mendo’akan orang yang sudah mati dan memohon agar
dosanya diampuni. Maka semakin jelaslah orang yang sudah meninggal dunia dapat
memperoleh manfaat dari amal orang-orang yang masih hidup.
اَنَّ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا سَأَلَتِ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ أَقُوْلُ
إِذَا اسْتَغْفَرْتُ لِاَهْلِ الْقُبُوْرِقَالَ قُوْلِى اَلسَّلَامُ عَلَى أَهْلِ
الْدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ
الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ
لَاحِقُوْنَ (صحيح مسلم, رقم 1619)
“Sesungguhnya ‘Aisyah RA
bertanya kepada Rasulullah SAW, apa yang harus dibaca ketika kami memohon ampun
bagi ahli kubur? Rasulullah SAW menjawab, Ucapkanlah, Salam sejahtera atas
engkau semua wahai ahli kubur dari golongan mukminin dan muslimin, semoga Allah
SWT melimpahkan Rahmat-Nya bagi orang-orang yang mendahului serta orang-orang
yang datang kemudian dari kami. Dan Insya Allah kami akan menyusul kalian.”[75]
Hadits diatas menerangkan
bahwa Rasulullah menganjurkan untuk ziarah kubur dan mengucapkan salam kepada
ahli kubur serta mendo’akannya dan ada juga hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW sering ziarah kemaqam baqi’. Bisa dipahami dari penjelasan
tersebut, bahwa ahli kubur dapat mendengar salam dari orang yang mengucapkan
salam kepada ahli kubur tersebut dan memperoleh manfaat dari do’a tersebut.
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه
قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ
عَلَيْهِ فَقَالَ اِسْتَغْفِرُوا لاَخِيْكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالْتَّثْبِيْتِ
فَاِءنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (سنن ابي داود, رقم 2804 )
“Dari Usman bin Affan, ia
berkata jika Nabi Muhammad SAW selesai menguburkan jenazah, beliau berdiri
didekat kubur lalu bersabda, hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan bagi
saudaramu (yang meninggal ini) baginya karena saat ini dia sedang ditanya oleh
malaikat.”[76]
عَنْ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّىْ أُفْتُلِتَتْ َنفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ
وَأَظَنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ
عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ (صحيح مسلم , رقم 1672 )
“Dari ‘Aisyah RA, seseorang
laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, Ibu saya meninggal dunia secara
mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandenya dia dapat
berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya
bersedekah atas namanya ? Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya”.”[77]
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الاخَرُ
فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا
نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ , قَالُوا يَا رَسُولُ الله لِمَ
فَعَلْتَ هَذَا ؟ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْبَسَا (صحيح
البخارى, رقم 209)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
RA, ia berkata, suatu hari Nabi SAW berjalan melewati dua pemakaman. Kemudian
beliau bersabda, kedua orang yang berada dalam kuburan ini sekarang sedang
disiksa. Namun keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa
karena ia kencing dan tidak menutup auratnya. Dan yang lain disiksa karena suka
mengadu domba. Lalu Nabi SAW mengambil pelapah kurma dan membelahnya menjadi
dua, kemudian menancapkanya diatas kubur masing-masing. Para shahabat bertanya,
mengapa engkau melakukan hal tersebut ? Nabi SAW menjawab, semoga keduanya
mendapatkan keringanan siksa selama pelepah kurma ini belum kering.”[78]
عَنْ مَعْقِلٍ بْنِ يَسَارٍ
أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَيس قَلْبُ
اٍلقُرْأَنِ لا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
وَالدَّارَ الاخِيْرَةَ إلا غُفِرَ لَهُ وَاقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (مسند
احمد بن حنبل , رقم 1941 )
“Diriwayatkan dari Ma’kil bin
Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, surat yasin adalah intisari Al Qur’an.
Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah
SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat Yasin atas orang-orang
yang telah meninggal diantara kamu sekalian.”[79]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ
وَأِلَهُكُمُ الْتَكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ
كَلَامِكَ لاَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا
شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى (أخرجه أبو القاسم الزنجاني , حول خصائص
القرأن : 46 )
“Diriwayatkan dari Abu
Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, barang siapa memasuki pemakaman lalu
membaca sura Al Fatihah, Al Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo’a, Aku hadiahkan
bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua Ahli Qubur dari kalangan
mukmiin dan mukminat, maka semua ahli qubur itu akan memberikan syafa’at
(pertolongan) kepada orang yang membaca surat tersebut.”[80]
كَانَتِ الاَنْصَارُ إِذَا
مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا عَلَى قَبْرِهِ يَقْرَؤُنَ عِنْدَهُ
الْقُرْأَنَ (الروح: 11 )
“Jika ada shahabat dikalangan
Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan kuburnya sambil membaca Al
Qur’an.”[81]
Demikianlah beberapa Hadits
yang bisa Disebutkan dalam penulisan risalah ini, tentunya masih banyak sekali
dalil-dalil dari hadits yang menjelaskan bahwa amaliyah orang yang masih hidup
dapat bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal dunia, dan dengan
disebutkannya beberapa dalil dari hadits yang tersebut diatas penulis berharap
bagi para pembaca ketika melakukan ritual tahlil tidak lagi mersa bimbang dan
khawatir kalau-kalau perbuatan tersebut sia-sia.
sungguh hanya orang-orang yang paham mendalam alquran dan hadist sajalah yang bisa demikian, itulah hebatnya para ulama, maka telitilah kawan, kajilah, maka engkau kan dapatkan kebenaran-kebenaran.. jangan gunakan nafsumu, maupun kebodohan-kebodohanmu…
sungguh hanya orang-orang yang paham mendalam alquran dan hadist sajalah yang bisa demikian, itulah hebatnya para ulama, maka telitilah kawan, kajilah, maka engkau kan dapatkan kebenaran-kebenaran.. jangan gunakan nafsumu, maupun kebodohan-kebodohanmu…
beberpa pendapat tentang
tahlilan
Pendapat Almarhum KH. Muchit
Muzadi dalam artikelnya yang berjudul “Tidak Mungkin Agama Terlepas dari
Tradisi Lokal” yang termuat dalam majalah Afkar sebagai berikut: “bagaimana
sebenarnya pandangan Nahdlatul Ulama terhadap tradisi local ? NU termasuk
organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan lebih
bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi islam yang lain. “Agama
apa sih yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran dengan tradisi
lokal ? itu tidak mungkin. Karena agama itu untuk manusia dan manusia dimanapun
selalu dipengaruhi oleh lingkungannya”.Dengan dicontohkan “waladun
shalihun ya’du lahu” di Indonesia waladun shalihun dirangkaikan dengan cara
ritual tahlilan.
Imam Al Syaukani mengatakan
bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya
membaca Al Qur’an, Dzikir dan Do’a, itu adalah perbuatan yang dibenarkan
meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rosulullah. Begitupula tidak ada
larangan untuk menghadiahkan pahala bacaan Al Qur’an atau lainnya kepada orang
yang sudah meninggal dunia.
Imam Ibnu Taymiah Syaikhul
Islamnya Salafiyyin (Wahabi) suatu ketika pernah ditanya, apakah bacaan
keluarga mayyit, tasbih, tahmid, takbir, tahlil jika dihadiahkan pahalanya
untuk si mayyit akan sampai atau tidak? Maka beliau menjawab: “akan sampai
bacaan keluarga si mayyit seperti bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan seluruh
jenis dzikir kepada Allah jika dihadiahkan kepada mayyit akan sampai”
dan masih banyak lagi…
kawanku semua yang dirahmati
Allah
Pada hakikatnya majelis
tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam
berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. nah kan sudah jelas…. hanya
sebuah nama... Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa
atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah
seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. apakah
itu salah? apakah itu bidah? jelas tidak kawan….
Maka sangat jelas bahwa
majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang
berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha
illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal
itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau
Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain,
itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim
hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat
dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan
Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan
Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk
dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad
dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal
untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama
seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan
perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca
tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah
ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka
sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama
ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi
berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan
21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah
mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA
DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan
itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang
memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka
dengan dzikir. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah
illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu
paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini
sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula
bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab,
klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah
muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan
Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah,
Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka
melarangnya maka mana dalilnya ?, Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara
Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al
Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam
Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan
pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40
hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang
melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan , justru kita
perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa
ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau
bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa
ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak
ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk
melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan
merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone,
mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada
di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu
bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru
adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw
menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas
selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas
Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih
Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan
bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada
setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas,
lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap
rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan
disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh
Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai
surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan
membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak
melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena
cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh,
yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut
sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al
Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji
dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah
saw”.
Berkata Al Imam Alhafidh Al
Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti
Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan
aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan
12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku
untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam
Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam
Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu
Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk
rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah
saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
seseorang bertanya kepada
habieb munzir Almusyawwa
MOhon habib memberikan
penjelasan mengenai kutipan al Umm imam Syafi’i ini,
Imam Asy Syafi’I, yakni
seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan
yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah
berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”
Dari pernyataan Imam Syafi’i
di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah ahli mayit (meskipun
menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si pemilik
rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak
mesti menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh
dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima
pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber
referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i) dengan tegas
MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul
saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai
Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul
Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul
( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk
mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
Bahkan para ulama/imam empat
(Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hambali) sepakat dengan melarang hal tersebut
(tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang larangan
hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan
tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan para
sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan terhadap si mayit.
Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian, TAHLILAN
BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari agama Hindu. Aku yakin para Wali
Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2 tidak menghapus budaya ini.
Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan penyebaran agama
Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sangat
mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu a’lam
Wallahu a’lam
jawaban habieb munzir atas
pertanyaannya itu..
Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya
semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
sebenarnya sudah jelas, bahwa ucapan Imam Syafii itu diselewengkan maknanya oleh mereka, “Ma’tam” adalah perkumpulan ratapan dan tangisan, orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya, sebagaimana masa kini ada group Band penghibur, dimasa lalu juga ada Group penangis, khusus untuk meratap dirumah duka.
sebenarnya sudah jelas, bahwa ucapan Imam Syafii itu diselewengkan maknanya oleh mereka, “Ma’tam” adalah perkumpulan ratapan dan tangisan, orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya, sebagaimana masa kini ada group Band penghibur, dimasa lalu juga ada Group penangis, khusus untuk meratap dirumah duka.
ini yg tidak disukai oleh
Imam Syafii, dan tentunya Imam syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa
beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit2, tapi disebut
perkumpulan Duka,
namun beliau tak menjatuhkan
hukum haram, akan tetapi makruh, karena Ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh
berbeda dg Ma’tam yg dimasa Jahiliyah,
karena jika Ma’tam yg dimasa
jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada
sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya.
kalimat “benci/membenci” pada
lafadh para muhadditsin yg dimaksud adala “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti
Makruh.,
Makruh mempunyai dua makna,
yaitu : makna bahasa dan makna syariah.
makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
sang penulis menyelewengkan
ucapan Imam Syafii yg mengatakan bahwa hal itu Makruh, justru Imam syafii tidak
menjatuhkan hukum haram, karena jika haram maka beliau tak akan menyebut
membenci, tapi haram secara mutlak,
sebab dalam istilah para ahli
hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci,
senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah
keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
maka jika ada fatwa para Imam
dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka
jelas sudah makna ucapan imam syafii itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan
haram
karena menurut kaidah ushul
bahwa semua imam dan ulama dan siapapun, tak berhak memberi pendapat pada suatu
hukum dg perasaan, tapi mereka jika berhadapan dg hukum mestilah fatwa syariah
yg disampaikan, bukan perasaan benci, senang dll, karena hal itu bukan dalil.
Demikian saudaraku yg
kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
KENDURI ARWAH, TAHLILAN &
YASINAN MENURUT ULAMA
Limpahan kebahagiaan dan
kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh
telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah,
sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat
bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?,
Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Berkata Al Hafidh Al Imam
Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits
riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat
bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma
(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa
doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka
menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila
diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg
kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit,
maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yg
mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam
itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg
banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam nawawi yg anda
jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan
haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu
mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan
tidak sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah mengundang orang
dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan
masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan
Jamuan, hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta
yg menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka
bumi, yg ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan
kue kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada
pengunjung hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy
menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg
membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh”
(bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa,
bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg
mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang
orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang
orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid;ah buruk yg
makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah
muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung
makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai
penjelas bahwa hal itu bukan haram,
Entahlah para wahabi itu tak
faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering
mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada
hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para
Muhaddits dan para Imam, dam hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yg
dangkal dalam pemahaman syariahnya,
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin
Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan
besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam
pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg
dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram,
kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki
berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya
Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan
diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau
mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang orang wahabi
menafsirkan kaliamt “makruh”adalah hal yg dibenci, tentu mereka salah besar,
karena imam imam ini berbicara hukum syariah bukan bicara dicintai atau
dibenci.
5. Syaikh An-Nawawi
Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu
adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam
macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara
keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan”
demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi
kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka
(keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun
maka tak ada pula yg memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.
Yg lebih baik adalah datang
dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah
duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
dan pelarangan / pengharaman
untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga
duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak
datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari
bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir
jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini
sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
didalam Ushul dijelaskan
bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab
fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa
tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan
haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah
dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau
tak mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah”
sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut
WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi
berpendapat Bid’ah terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan
menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam
Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan
bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu
Mustahibbah” bermakna Bid’ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi
berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).
Namun kenyataannya Imam
Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar
inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yg
makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini
sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan
atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah buruk
(munkarah) yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat
kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah buruk yg makruh, tidak
haram, karena shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh
dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala
yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa
bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah
menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu
shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat
makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka
dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)
(Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu shohibul Mughniy
menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya
karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara
yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg
jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti
dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215)
(disini hukumnya berubah, yg
asalnya makruh, menjadi Mubah bahkan hal yg mulia, karena tamu yg berdatangan
dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada
keluarga duka dan kebutuhan tamu,
Dijelaskan bahwa yg dimaksud
adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau
kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya,
sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin
menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli dan
menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
baiklah jika sebagian saudara
kita masih belum tenang maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan
mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra
berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib
untuk membuat makanan untuk orang orang” (AL Hafidh Al Imam Ibn Hajar pd
Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)
dari Thaawus ra : “Sungguh
mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka
memberi makan orang orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh
Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat
mengenai pengadaan makanan
dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul
saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal
yg membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998 dg sanad
hasan, dan di Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
demikian pula riwayat shahih
dibawah ini ;
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد ، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka
sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi
makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketikan
hidangan hidangan ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya, maka
berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat
Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan
kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg mesti, maka
makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka
orang orang pun mengulurkan tangannya masing masing dan makan.
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
Kini saya ulas dengan
kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
2. membuat jamuan dengan
tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat
Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan
apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab
: Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan
uangnya untuk bersedekah..?,
3. menghidangkan makanan
seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh,
misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi
masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun
bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
5. makan makanan yg
dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan
sebagaimana riwayat yg akan saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra
memerintahkan tuk menjamu tamunya jika ia wafat
6. boleh saja jika keluarga
mayyit membeli makanan dari luar atau ketring untuk menyambut tamu tamu, karena
pelarangan akan hal itulah yg akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak
dan merepotkan mereka.
7. makruh jika membuat
hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka
–
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan,
–
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan,
namun bila diniatkan untuk
sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau
menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun,
hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN
KEPADA MAYIT
1. Ucapan Imam Nawawi dalam
Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل
Berkata Imam Nawawi :
“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas
nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu
sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara
muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan
Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan
beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa
mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil
secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash
dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak
perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an
menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit,
namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yg mengatakannya sampai, dan
sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam
ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya,
sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat
dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya
yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya,
dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan
Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk
mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa
Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur
adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang orang
wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka menggunting gunting
ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya
akan buktikan kelicikan mereka :
Lalu berkata pula Imam Nawawi
:
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk
dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan
padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama,
demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran
hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula
haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam
Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya
membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila
kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu
katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL
Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“sungguh boleh bagi seseorang
untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau
haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan
itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).
Kesimpulannya bahwa hal ini
merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai
secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak
sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk
disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan
itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim…
dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari
alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam
Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg
mengatakannya tak sampai.
kita ahlussunnah waljamaah
mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru
kepada Imam Bukhari,
bila saya berbicara fatwa
Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara
fatwa Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
demikianlah kita ahlussunnah
waljamaah, kita tak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja
dibantu oleh Buku buku, namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku buku.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku buku.
jauh berbeda dengan
ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi bertawassul
pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg
dipenuhi salam pada nabi Muhammad saw,
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.
Sabda Rasulullah saw :
“Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya, adalah yg
bertanya tentang hal yg tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas
mereka karena ia mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)
Menentukan jumlah hari (7
hari, 40, 100, setahun, 1000, dsb)
Pemilihan waktu dalam dzikir,
doa maupun tilawah adalah sesuatu yang mubah saja karena dzikir, doa dan
tilawah bisa dilakukan kapan pun. Memang ada waktu-waktu yang lebih dianjurkan
semisal berdoa setelah shalat, membaca Al-Kahfi di malam Jum’ah, berdzikir di
akhir malam dsb, namun hal itu tidak berarti bahwa dzikir di waktu lain itu
tidak dianjurkan atau malah dilarang. Demikian pula menentukan dzikir di
hari ke 1, 5, 7, 8, 15 dsb adalah hal mubah sepanjang tidak dijadikan pandangan
keharusan karena memang tidak ada kewajiban ataupun anjuran untuk menetapkan
jumlah hari tertentu. Penetapan hari 3, 7, 40, 100, 1000 hari dst sebetulnya
tidak begitu saja ditetapkan, namun berdasarkan pada riwayat-riwayat meskipun
memang dha’if sanadnya. Tetapi kedha’ifan tersebut tidak lantas mengubah hukum
penetapan hari yang mubah menjadi makruh atau haram kecuali dianggap suatu
keharusan.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memahami penetapan jumlah hari ini sebagai keharusan akibat faktor gengsi atau pengajaran yang keliru dari para tokoh agama setempat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak menimbulkan madharat apalagi jika dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat acara, padahal tujuan dari penetapan waktu-waktu tsb lebih pada upaya untuk secara konsisten mendoakan orang tua yang telah meninggal sebagai salah satu jalan pahala yang tetap mengalir setelah seseorang wafat. Bisa kita saksikan di masyarakat kita ada keluarga yang sampai harus menjual harta hanya untuk membuat acara 40 hari padahal kehidupan mereka sendiri compang-camping penuh kekurangan. Imbas-imbas buruk ini harus dikikis tanpa perlu menggeneralisasikan bahwa penetapan waktu itu membawa madharat bagi keluarga si mayyit.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memahami penetapan jumlah hari ini sebagai keharusan akibat faktor gengsi atau pengajaran yang keliru dari para tokoh agama setempat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak menimbulkan madharat apalagi jika dikaitkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat acara, padahal tujuan dari penetapan waktu-waktu tsb lebih pada upaya untuk secara konsisten mendoakan orang tua yang telah meninggal sebagai salah satu jalan pahala yang tetap mengalir setelah seseorang wafat. Bisa kita saksikan di masyarakat kita ada keluarga yang sampai harus menjual harta hanya untuk membuat acara 40 hari padahal kehidupan mereka sendiri compang-camping penuh kekurangan. Imbas-imbas buruk ini harus dikikis tanpa perlu menggeneralisasikan bahwa penetapan waktu itu membawa madharat bagi keluarga si mayyit.
Hukum dalam fiqh itu sarat
dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan perbedaan ini juga ditemui dalam hukum
membaca Alquran bagi wanita haid. Adapun fatwa keharaman membaca Alqur’an saat
haid adalah fatwa yang masyhur dalam madzhab Syafi’i. Sedang fatwa dalam
madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali bercabang dalam 2 pandangan, ada yang
mengharamkan dan sebagian menganggapnya boleh.
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”. (H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini dishahihkan Imam Turmudzi namun dianggap dhaif oleh kebanyakan ahli hadits.
Namun pandangan yang menetapkan hukum haram bagi wanita haid untuk membaca Alquran disamping mempertimbangkan hadits di atas juga mengambil qiyas dengan keharaman membaca Quran saat junub yang keharamannya lebih disepakati para ulama. Mengingat tingkat hadats saat haid dan nifas lebih tinggi dari junub maka sudah sewajarnya hal yang diharamkan bagi orang junub lebih kuat keharamannya bagi wanita haid.
Meski demikian, fatwa yang mengharamkan membaca Alquran pun memberikan pengecualian untuk hal-hal tertentu, a.l. :
1. Bacaan Alquran yang sudah lazim tidak dianggap Alquran karena berfungsi sebagai dzikir atau doa. Misalnya bacaan basmalah sebelum makan, istirja’ (innaa lillaahi dst) saat ada musibah, doa sapu jagad (rabbanaa aatinaa fiddunyya dst).
2. Bacaan Alquran untuk kepentingan dirasah (pembelajaran) yang sifatnya dharury (wajib dikuasai segera) semisal bacaan fatihah untuk kepentingan shalat.
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”. (H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini dishahihkan Imam Turmudzi namun dianggap dhaif oleh kebanyakan ahli hadits.
Namun pandangan yang menetapkan hukum haram bagi wanita haid untuk membaca Alquran disamping mempertimbangkan hadits di atas juga mengambil qiyas dengan keharaman membaca Quran saat junub yang keharamannya lebih disepakati para ulama. Mengingat tingkat hadats saat haid dan nifas lebih tinggi dari junub maka sudah sewajarnya hal yang diharamkan bagi orang junub lebih kuat keharamannya bagi wanita haid.
Meski demikian, fatwa yang mengharamkan membaca Alquran pun memberikan pengecualian untuk hal-hal tertentu, a.l. :
1. Bacaan Alquran yang sudah lazim tidak dianggap Alquran karena berfungsi sebagai dzikir atau doa. Misalnya bacaan basmalah sebelum makan, istirja’ (innaa lillaahi dst) saat ada musibah, doa sapu jagad (rabbanaa aatinaa fiddunyya dst).
2. Bacaan Alquran untuk kepentingan dirasah (pembelajaran) yang sifatnya dharury (wajib dikuasai segera) semisal bacaan fatihah untuk kepentingan shalat.
Karenanya untuk kasus belajar
membaca Alquran yang sifatnya tidak dharury menurut hemat saya lebih baik
dihentikan sementara. Dengan pertimbangan bahwa meskipun tidak mengesampingkan
adanya pendapat bolehnya membaca Quran bagi wanita haid, khuruj minal khilaf
(keluar dari perbedaan) dengan mengambil fatwa yang lebih berhati-hati layak
untuk diutamakan. Apalagi belajar dalam hal ini sifatnya anjuran sehingga wajar
dikalahkan demi menghindari keharaman.
Bisa dikatakan demikian,
namun budaya yang bermaterikan nilai ibadah semisal bacaan Alquran dan dzikir
tentu merupakan kebaikan sesuai dengan perintah untuk melazimkan (membiasakan)
ibadah meskipun hanya sesuatu yang kecil. Hanya pemahaman yang banyak
dikelirukan adalah anggapan bahwa 100 hari atau setahun, dll itulah yang
dianggap ibadah padahal ibadah yang sesungguhnya adalah tilawah, dzikir dan
doa. Sering di kampung kalau ditanya : bikin acara apa? maka jawabannya nyatus
(100 hari) atau haul (setahun) dengan anggapan bahwa nyatus dan haul itulah
yang bernilai ibadah. Padahal itu hanya penetapan momen/waktu yang mubah,
sedang ibadah sesungguhnya adalah dzikir, doa, dsb yang pelaksanaannya tidak
mesti menunggu momen tertentu tetapi selayaknya dilakukan secara istiqamah
setiap saat.
Membaca yasin atau surah
tertentu
Membaca Alquran sama halnya
dengan dzikir, ia sunnah dibaca kapan saja di mana saja dengan sedikit
pembatasan, semisal haram bagi wanita haid/nifas atau orang sedang junub
(hadats besar), makruh dibaca di tempat yang sering kotor seperti WC.
Selebihnya tidak ada pembatasan waktu maupun tempat. Yasin adalah bagian dari
Alquran yang tentunya hukum membacanya sama dengan membaca Alquran.
Kaitannya dengan bacaan yasin untuk jenazah, sunnahnya adalah saat ada seseorang menjelang skaratul maut, keluarga/handai taulan hendaknya membacakannya surah yasin bukan saat sudah meninggal, akan tetapi apabila surah yasin dibaca saat seseorang sudah meninggal itu juga tidak mengapa dan hukum sunnahnya mengikuti kesunnahan umum membaca Alquran meski tidak mendapatkan sunnah khusus bacaan saat orang sakaratul maut.
Kalau ada yang berkata membaca tahlil/yasin bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah maka pernyataan tersebut terhapuskan oleh perintah berdzikir/tilawah Quran yang bersifat umum. Artinya membaca Alquran (termasuk yasin) dan dzikir (termasuk tahlil) selamanya adalah sunnah, kapan saja dan dimana saja kecuali ada dalil qath’i tentang pelarangannya dari Quran atau hadits seperti larangan bagi wanita haid.
Adapun mengkhususkan yasin atau surat yang dibaca memang tidak dianjurkan dan makruh jika memang hanya surat tertentu itu saja yang dibaca tanpa pernah membaca surah lain dalam Alquran. Perlu digarisbawahi bahwa hukum makruh tersebut bukan dalam bacaan yasinnya namun pada tindakan “pengkhususannya”. Sedang bacaan yasinnya tetap sunnah sebagaimana hukum umum membaca Alquran. Karena itu pengkhususan yang biasa dilakukan di wilayah kita bukanlah hal terlarang, apalagi hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat yang belum mampu membaca surah lain sebaik yasin. Tentu tetap perlu mengembangkan pembelajaran kepada masyarakat namun hal tersebut bisa saja dilakukan dengan jalur lain semisal melalui kajian-2 tajwid dan qira’ah.
Kaitannya dengan bacaan yasin untuk jenazah, sunnahnya adalah saat ada seseorang menjelang skaratul maut, keluarga/handai taulan hendaknya membacakannya surah yasin bukan saat sudah meninggal, akan tetapi apabila surah yasin dibaca saat seseorang sudah meninggal itu juga tidak mengapa dan hukum sunnahnya mengikuti kesunnahan umum membaca Alquran meski tidak mendapatkan sunnah khusus bacaan saat orang sakaratul maut.
Kalau ada yang berkata membaca tahlil/yasin bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah maka pernyataan tersebut terhapuskan oleh perintah berdzikir/tilawah Quran yang bersifat umum. Artinya membaca Alquran (termasuk yasin) dan dzikir (termasuk tahlil) selamanya adalah sunnah, kapan saja dan dimana saja kecuali ada dalil qath’i tentang pelarangannya dari Quran atau hadits seperti larangan bagi wanita haid.
Adapun mengkhususkan yasin atau surat yang dibaca memang tidak dianjurkan dan makruh jika memang hanya surat tertentu itu saja yang dibaca tanpa pernah membaca surah lain dalam Alquran. Perlu digarisbawahi bahwa hukum makruh tersebut bukan dalam bacaan yasinnya namun pada tindakan “pengkhususannya”. Sedang bacaan yasinnya tetap sunnah sebagaimana hukum umum membaca Alquran. Karena itu pengkhususan yang biasa dilakukan di wilayah kita bukanlah hal terlarang, apalagi hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat yang belum mampu membaca surah lain sebaik yasin. Tentu tetap perlu mengembangkan pembelajaran kepada masyarakat namun hal tersebut bisa saja dilakukan dengan jalur lain semisal melalui kajian-2 tajwid dan qira’ah.
tambahan catatan kecil :
Tahlilan adalah
bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah meninggal dunia yang dilakukan
di rumah-rumah, musholla, surau atau majlis-majlis dengan harapan semoga
diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan
beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an
Tahlilan bukanlah bid’ah,
karena tahlil sebenarnya do’a yang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik
secara perindividu ataupun jama’ah, tetapi karena di Indonesia tahlilan
terbiasa dilakukan secara berjama’ah, maka menjadi kebiasaan atau adat. Seperti
dalam ushul fiqhnya “Al Adatu Muhkamatun” kebiasaan bisa dijadikan
hukum.
Tahlilan juga merupakan
wahana silaturrahmi yang bisa mengeratkan tali persaudaraan antara sesama ummat
islam.
Tahlilan juga bisa menjadi
pelipur hati bagi keluarga yang sedang terkena musibah.
sedikit saran bagi yang
sering menyelisih tentang tahlilan
selalu mengintropeksi diri,
apakah sudah benar perbuatan kita sesuai dengan tuntutan Rosulullah ataukah
belum sesuai, karena tidak dibenarkan kita selalu mencari-cari kesalahan orang
lain atau golongan lain.
telitilah, kajialah,
belajarlah lagi dan lagi, sering kebenaran itu menyentuh hatimu, coba telitilah
tahlilan secara adil
Biasakanlah lisan kita untuk
selalu berdzikir dengan kalimat Tahlil, Tahmid, Tasbih dan Takbir. karena lisan
yang terbiasa digunakan untuk berdzikir dapat mencerminkan hati yang bersih.
Dan dengan harapan ketika ruh terlepas dari jasad kita kata yang terakhir
diucapkan adalah kalimat tahlil.
yuk podo ngaji bareng-bareng,
maring para kyai, para ulama,
jangan merasa paling benar,
sehingga sering menghujat dan menyalahkan yang lain.
islam itu cahaya, maka
jadikanlah ia cahaya penerang untuk didunia dan akheratmu
bagaimana kawan, masih ada
yang membidahkah sesat tahlilan dan yasinan… padahal banyak sekali
manfaatnya…semoga Allah ilhamkan pemahaman yg dalam bagi yang masih dangkal
pemahaman ilmunya…
mari kita terus mengkaji ilmu
Allah untuk mengkuatkan iman dan akidah kita,
semoga bermanfaat,
mari ziarah makan sunan
kudus, sunan kalijaga, raden fatah, sunan muria
Share this:
Like this:
One blogger likes this.
48 Komentar (+add
yours?)
Aa Ikhwan
Jun 05, 2012 @ 17:56:52
Jun 05, 2012 @ 17:56:52
2
0
Rate This
mau sekedar share sesama
penuntut ilmu :
ditempat ane ada beberapa
kawan yang melakukan tahlilan kematian 7 hari, 14 hari dan sebagainya dengan
terkadang berhutang ke sna dan kemari dan menyelipkan beberapa amplop dalam
besek. Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh membantu orang
yang terkena musibah (kematian).
Mau tanya :
1.Setiap yang bernyawa akan mengalami kematian
2.Setiap bid’ah adalah sesat
1.Setiap yang bernyawa akan mengalami kematian
2.Setiap bid’ah adalah sesat
kenapa point 1 tidak dibagi
lagi seperti halnya bid’ah ,..kullu di sini kan berarti semuanya,seluruhnya,
setiap hal? CMIIW
Bid’ah itu yang ane fahami
hanya dalam ibadah,..kalo TV, Komputer, Telepon, Mobil dll itu bukanlah ibadah
tapi benda yang pastinya tidak ada saat zaman nabi Shalallau ‘Alaihi Wasallam.
Membaca Yasin pun tidak
masalah dan tidak dilarang oleh para ulama, yang masalah adalah “pengkhususan”
membaca Yasin pada waktu2 tertentu semisal malam Jum’at.
Sholawat kepada Nabi
Shalallau ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah anjuran dan keagungan, memuji para
Sahabat Rhadyallahu ‘Anhum adalah sebuah keagungan pula,..memuji para ulama,
dan imam 4 mazhab Rahimahullah Ta’ala adalah sebuah keagungan.
Tapi kenapa kawanku ini di
setiap penulisan Nabi,Sahabat, Para imam tidak mendo’akannya? bahkan Shalawat
nabi pun ditulis (maaf) SAW, padahal hal kecil tersebut sangatlah mulia dan
lebih jelas daripada membahas sesuatu yang masuk wilayah khilafiyah ulama yang
mana masing2 memiliki pemahamannya/pegangannya sesuai ilmu Al Qur’an dan As
Sunnah serta ijma para Sahabat Rhadiallahu ‘Anhum.
Maaf saudaraku bukannya ane
lancang,..tapi kita disibukkan dengan urusan khilafiyah yang mestinya dibahas
terperinci oleh para ahli ilmu, dan debat yang baik antara para ahli ilmu
pula,..kalo ane yg masih belajar ini sangatlah kurang dari segala2nya.
Wassalam
temonsoejadi
Jun 06, 2012 @ 14:54:03
Jun 06, 2012 @ 14:54:03
2
1
Rate This
mas ikhwan sekeluarga yang
dirahmati Allah.
saya jawab sebisa saya.. maaf lama tadi sudah saya jawab, malah mozilla firefoxnya tertutup sebelum tak kirim jwbnnya..
saya jawab sebisa saya.. maaf lama tadi sudah saya jawab, malah mozilla firefoxnya tertutup sebelum tak kirim jwbnnya..
1. ditempat ane ada beberapa
kawan yang melakukan tahlilan kematian 7 hari, 14 hari dan sebagainya dengan
terkadang berhutang ke sna dan kemari dan menyelipkan beberapa amplop dalam
besek
mungkin yang paling krusial
dalam masalah tahlilan karena praktek yang ada di masyarakat memang kadang
berlebihan dan sifatnya yang lahiriah lebih mudah diidentifikasi. Menyediakan
makanan di rumah ahli mayit tidaklah dilarang sepanjang tidak membuat repot
keluarga jenazah kan niat awalnya untuk shadaqa yang pahalanya untuk yg telah
meneninggal. Apalagi sudah semestinya keluarga mayit tetap membutuhkan makan
dan keluarga yang jauh juga perlu untuk dilayani. Di sinilah peran tetangga dan
kerabat untuk membantu dalam berbagai kesibukan termasuk menyediakan makanan
bagi keluarga mayit dan hidangan bagi para tetamu. Tentu sewajarnya hidangan
buat para tamu tidaklah berlebihan mengingat kondisi sedang berkabung. Apa yang
banyak dipraktekkan masyarakat dengan membuat makanan yang cenderung berlebihan
bahkan seperti sedang ada acara resepsi jelas bukan sesuatu yang baik dan
termasuk kebiasaan buruk yang seharusnya ditinggalkan. Disamping merepotkan
keluarga mayit, kegiatan makan-makan selayaknya tidak sesuai dengan kondisi
berkabung yang dialami keluarga yang memperoleh musibah.
2. Setiap yang bernyawa akan
mengalami kematian
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan” [al-‘Ankabût/29:57]
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan” [al-‘Ankabût/29:57]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah
berkata: “Maksud ayat ini adalah setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak
bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang maupun yang tidak, dan tidak
ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena
sesungguhnya ajal sudah ditentukan”[6]
Jadi, setiap yang bernyawa di
muka bumi ini baik manusia, jin maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang
dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. kalo TV, Komputer,
Telepon, Mobil dll itu bukanlah ibadah tapi benda yang pastinya tidak ada saat
zaman nabi Shalallau ‘Alaihi Wasallam.
Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam
berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini.
Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau
penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah
mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
semua yang diatas masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid’ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah…
Jadi, berdasarkan definisi bid’ah secara istilah ini menunjukkan kepada kita semua bahwa perkara dunia (yang tidak tercampur dengan ibadah) tidaklah tergolong bid’ah walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru.
semua yang diatas masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid’ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah…
Jadi, berdasarkan definisi bid’ah secara istilah ini menunjukkan kepada kita semua bahwa perkara dunia (yang tidak tercampur dengan ibadah) tidaklah tergolong bid’ah walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru.
Perhatikanlah perkataan Asy
Syatibi,
“Perkara non ibadah (‘adat)
yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah.
Namun jika perkara non ibadah
tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa
termasuk dalam bid’ah” (Al I’tishom).
Oleh karena itu, komputer,
HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi
informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang
dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela.
Kalau mau kita katakan
bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada
contoh sebelumnya.
4. “pengkhususan” membaca
Yasin pada waktu2 tertentu semisal malam Jum’at.
ini sebenarnya ada kultural
yang salah. namun tidak boleh disalahkan maksudnya.. apa yang dilakukan itu
baik, tapi ada yang lebih baik karena ada dalil shohih yang
menerangkannya..Membaca surat Yasin pada malam Jum’at menjadi tradisi yang
melekat pada masyarakat Melayu, seperti Indonesia dan Malaysia. Selepas
Maghrib, rumah-rumah, masjid, dan mushalla ramai dengan lantunan surat Yasin
baik dengan sendiri-sendiri maupun berjamaah.
“Ini tidak shahih. Dan
disebutkan riwayat:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس فِي لَيْلَةِ الْجُمعَةِ غُفِرَ لَهُ
“Siapa yang membaca surat
(Yasin) pada malam Jum’at diampuni dosanya.”
ini adalah hadist yang dhoif (lemah) dan juga hadist yang hasan yaitu
Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ini adalah hadist yang dhoif (lemah) dan juga hadist yang hasan yaitu
Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
“Barangsiapa membaca surat
al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara
dirinya dia dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan
al-Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib
wa al-Tarhib, no. 736)
namun terlepas dari itu
semua, tidak serta merta kita mensalahkan yang membca yasin malam jumat, toh
membaca quran itu baik, bagi yang sudah tahu silahkan amalkan hadist hasanya,
bagi yang mau mengingatkan maka ingatkan mereka secara baik.. misal gini. jika
saya di ijayahkan guru saya membaca surat tertentu setiap malam apakah saya
tidak boleh melakukannya… kan itu juga dalm kontek waktu tertentu juga
berulang2..
5.Tapi kenapa kawanku ini di
setiap penulisan Nabi,Sahabat, Para imam tidak mendo’akannya? bahkan Shalawat
nabi pun ditulis (maaf) SAW,
dalam konteks apa mas para
imam tidak mendoakan nabi.. apakah mereka tidak pernah membaca sholawat?
Selawat atau Shalawat (bahasa Arab: صلوات) adalah bentuk jamak dari kata salat yang berarti doa atau seruan kepada Allah. Membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah swt untuk Nabi dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga beliau (Nabi) sejahtera (beruntung, tak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat).
Selawat atau Shalawat (bahasa Arab: صلوات) adalah bentuk jamak dari kata salat yang berarti doa atau seruan kepada Allah. Membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah swt untuk Nabi dengan ucapan, pernyataan serta pengharapan, semoga beliau (Nabi) sejahtera (beruntung, tak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat).
Salam berarti damai,
sejahtera, aman sentosa dan selamat. Jadi saat seorang muslim membaca selawat
untuk Nabi, dimaksudkan mendoakan beliau semoga tetap damai, sejahtera, aman
sentosa dan selalu mendapatkan keselamatan.
padahal saya tahu mereka hafal alquarn luar dalam
AL-AHZAB : 56
padahal saya tahu mereka hafal alquarn luar dalam
AL-AHZAB : 56
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi (1). Hai orang-orang yang beriman,
berselawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (2).”
(1) Bersalawat artinya: kalau
dari Allah berarti memberi rahmat: dari malaikat berarti memintakan ampunan dan
kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti
dengan perkataan:Allahuma shalli ala Muhammad. (2) dengan mengucapkan perkataan
seperti:Assalamu’alaika ayyuhan nabi artinya: semoga keselamatan tercurah
kepadamu hai nabi.
hadist pun jelas ada
tuntunannya..
Siti Aisyah ra. berkata : “Barangsiapa cinta kepada Allah Ta’ala, maka dia banyak menyebutnya dan buahnya ialah Allah akan mengingat dia, juga memberi rahmat dan ampunan kepadanya, serta memasukannya ke surga bersama para Nabi dan para wali. Dan Allah memberi kehormatan pula kepadanya dengan melihat keindahan-Nya. Dan barang siapa cinta kepada Nabi saw., maka hendaklah ia banyak membaca selawat untuk Nabi saw., dan buahnya ialah ia akan mendapat syafaat dan akan bersama beliau di surga.”
Siti Aisyah ra. berkata : “Barangsiapa cinta kepada Allah Ta’ala, maka dia banyak menyebutnya dan buahnya ialah Allah akan mengingat dia, juga memberi rahmat dan ampunan kepadanya, serta memasukannya ke surga bersama para Nabi dan para wali. Dan Allah memberi kehormatan pula kepadanya dengan melihat keindahan-Nya. Dan barang siapa cinta kepada Nabi saw., maka hendaklah ia banyak membaca selawat untuk Nabi saw., dan buahnya ialah ia akan mendapat syafaat dan akan bersama beliau di surga.”
Selanjutnya Nabi saw.,
bersabda : Barang siapa membaca selawat untukku karena memuliakanku, maka Allah
Ta’ala menciptakan dari kalimat (selawat) itu satu malaikat yang mempunyai dua
sayap, yang satu di timur dan satunya lagi di barat. Sedangkan kedua kakinya di
bawah bumi sedangkan lehernya memanjang sampai ke Arasy. Allah Ta’ala berfirman
kepadanya :”Bacalah selawat untuk hamba-Ku, sebagaimana dia telah membaca
selawat untuk Nabi-Ku. Maka Malaikat pun membaca selawat untuknya sampai hari
kiamat.”
dalam konteks penyingkatan
gelar SAW, maupun RA. sya tidak tahu siapa yang memulai itu, mungkin dengan
maksud untuk mempermudah dalam penulisan ataupun ejaan dalam kaidah tata bahasa
bahasa indonesia. namun semua orang tau saw adalah kepanjangan dari Shalallaahu
‘Alayhi Wasallam – gelar untuk Muhammad,, mungkin penulisan bahasa arab yang
ditulis indonesia kwatir salah makhraj dan hurufnya… karena beda satu harakat
saja berbeda maknanya…
begitulah kira-kira
penjelasan dari saya..
maaf saya baru belajar..
koreksi jika salah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar