Oleh Syaikh Raid Shabri bin Abu Alfah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah.” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
– Imam Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih (1/317-Fathul Bari), no. 216, 218, 1361, 1378, 6052 dan 6055.
– Imam Muslim dalam Ash Shahih, 3/200-Syarah Imam Nawawi, no. 292.
– Imam Tirmidzi dalam Al Jami’, 1/102, no. 70. Dan beliau mengatakan,”Hadits hasan shahih.”
– Imam Abu Dawud dalam As Sunan, 1/5. no. 20.
– Imam Nasa’i dalam Al Mujtaba, 1/28.
– Imam Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/125, no. 237.
Hadits ini dikeluarkan oleh:
– Imam Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih (1/317-Fathul Bari), no. 216, 218, 1361, 1378, 6052 dan 6055.
– Imam Muslim dalam Ash Shahih, 3/200-Syarah Imam Nawawi, no. 292.
– Imam Tirmidzi dalam Al Jami’, 1/102, no. 70. Dan beliau mengatakan,”Hadits hasan shahih.”
– Imam Abu Dawud dalam As Sunan, 1/5. no. 20.
– Imam Nasa’i dalam Al Mujtaba, 1/28.
– Imam Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/125, no. 237.
PEHAMAMAN YANG BENAR TERHADAP HADITS
- Sabda beliau, إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ (Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa.). Kata ganti (mereka berdua, Pent) adalah kata ganti untuk kubur, (namun) yang dimaksudkan adalah penghuni kubur.
- Sabda Beliau, وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ (Mereka berdua disiksa bukan karena perkara besar -dalam pandangan keduanya). Dalam riwayat lain Imam Bukhari, berkata:
يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ وَإِنَّهُ لكَبِيْرٌ
Mereka berdua disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya), namun sesungguhnya itu adalah perkara besar.
Mereka berdua disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya), namun sesungguhnya itu adalah perkara besar.
Dalam Shahih Bukhari, juga dalam Kitab Wudhu terdapat lafazh,
وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ بَلْ إِنَّهُ كَبِيْرٌ
Mereka berdua tidak disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya), bahkan sungguh itu adalah perkara besar.
وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ بَلْ إِنَّهُ كَبِيْرٌ
Mereka berdua tidak disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya), bahkan sungguh itu adalah perkara besar.
Dengan dua tambahan lafazh yang shahih ini, dapat ditetapkan bahwa penyebabnya adalah dosa besar. Maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Mereka berdua disiksa bukan karena perkara besar.” harus ditafsirkan kembali.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim, 3/201 mengatakan: Para ulama telah menyebutkan dua tafsiran dalam hadits ini. Pertama. Itu bukanlah perkara dalam pandangan mereka berdua. Kedua. Meninggalkan kedua perkara ini bukanlah sesuatu yang besar (susah).
Al Qadhi Iyadh menyampaikan tafsir ketiga, yaitu tidak termasuk dosa besar.
Saya (Syaikh Raid) katakan: Berdasarkan tafsir ketiga ini, maksud hadits ini adalah larangan, dan memberikan peringatan yang keras kepada orang lain, selain kedua penghuni kubur ini, agar tidak mengira bahwa adzab Allah itu hanya diakibatkan karena dosa besar yang membinasakan; karena adzab itu (kadang) disebabkan oleh selainnya. Wallahu a’lam.
Kedua perbuatan ini (yaitu tidak menjaga diri dari air kencing dan namimah, Pent) menjadi dosa besar dikarenakan perbuatan tidak bersih dari kencing, yang mengakibatkan batalnya shalat. Sehingga tidak diragukan lagi, tidak membersihkan diri dari kencing merupakan perbuatan dosa besar. Demikian juga menebar namimah (adu domba) dan berusaha berbuat kerusakan, termasuk perbuatan yang paling buruk, apalagi jika bersesuaian dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggunakan kata yamsyi (fi’il mudhari’), yang biasanya menunjukkan keadaan secara terus-menerus (artinya, berkelanjutan selama hidupnya, Pent).
• Sabda Beliau لَا يَسْتَتِرُ . Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan,”Beginilah dalam banyak riwayat, yaitu dengan dua huruf yang bertitik dua di atas (dua huruf ta’, Pent.). Huruf pertama difathahkan, dan huruf kedua dikasrahkan. Dalam riwayat Ibnu Asakir [2] يَسْتَبْرِئُ (membesihkan diri, Pent) dengan huruf ba’ disukunkan, berasal dari kata اسْتِبْرَاءُ
Dalam hadist riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud dari hadits Al A’masy يَسْتَنْزِهُ dengan huruf nun yang disukunkan. Setelah itu, huruf zai lalu huruf ha. Makna kata لَا يَسْتَتِرُ yaitu tidak membuat antara dia dengan kencingnya sesuatu yang bisa melindunginya dari percikan kencing. Dengan demikian, maka maknanya sejalan dengan riwayat يَسْتَنْزِهُ .
Al Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 1/318 mengatakan,”Dalam riwayat Abu Nu’aim berbunyi لاَيَتَوَقَّى (tidak menjaga diri, Pent). Kata ini merupakan penjelasan dari maksud (kata-kata di atas, Pent). Sebagian para ulama memberlakukan kata لَا يَسْتَتِرُ sesuai zhahirnya. Mereka mengatakan, bahwa arti kata itu ialah tidak menutup auratnya.
- Sabda Beliau يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ yaitu mengutip dan menceritakan perkataan seseorang dengan tujuan mencelakakan. Jika tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan atau menghindari kerusakan secara syar’i, maka hal itu dibenarkan. Imam Nawawi t dalam Syarh Muslim, 3/201 mengatakan,”(Yang disebut namiimah), yaitu menceritakan perkataan seseorang kepada orang lain, dengan tujuan merusaknya (adu domba).”
- Sedangkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh dua potong pelepah basah di atas dua kubur, menurut pandangan para ulama, perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dipahami, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan syafa’at untuk penghuni kubur itu, lalu permintaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabulkan dengan diberikan keringanan adzab kepada kedua penghuni kubur itu, sampai kedua potong pelepah itu kering. Imam Muslim rahimahullah menyebutkan di akhir kitab Shahih-nya, sebuah hadits yang panjang; yaitu hadits Jabir tentang dua penghuni kubur. (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda):
فأ حببت بشفاعتى أن يرد عنهما ما دام الغصنان رطبين
… maka syafa’atku untuk meringankan adzab dari kedua penghuni kubur itu dikabulkan selama dua batang kayu ini masih basah.
Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang menunjukkan bolehnya menanam pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Itu merupakan (kekhususan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Azza wa Jalla ingin memperlihatkan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keadaan dua penghuni kubur tersebut dan adzab yang mereka alami. Ini merupakan kekhususan, diantara kekhususan-kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan yang akan datang. Insya Allah .
PEMAHAMAN KELIRU TENTANG HADITS INI
Ada yang memahami hadits di atas dengan pemahaman keliru. Sebagian mereka berdalil (berargumentasi) dengan hadits ini, tentang bolehnya menanam kurma dan pepohonan di atas kuburan. Mereka mengatakan, bahwa illah (penyebab) diringankan adzab kedua penghuni kubur ini ialah karenak dua pelepah yang masih basah ini senantiasa bertasbih kepada Allah. Adapun yang kering tidak bertasbih. Pendapat seperti ini menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla.
Ada yang memahami hadits di atas dengan pemahaman keliru. Sebagian mereka berdalil (berargumentasi) dengan hadits ini, tentang bolehnya menanam kurma dan pepohonan di atas kuburan. Mereka mengatakan, bahwa illah (penyebab) diringankan adzab kedua penghuni kubur ini ialah karenak dua pelepah yang masih basah ini senantiasa bertasbih kepada Allah. Adapun yang kering tidak bertasbih. Pendapat seperti ini menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. [Al Isra’:44].
Seandainya, penyebab diringankan adzab adalah tasbih, tentu tidak ada seorangpun yang mendapatkan siksa di dalam kuburnya, karena debu dan bebatuan yang berada di atas mayit juga bertasbih kepada Allah Azza wa Jalla.
Syaikh kami, Al Albani rahimaullahj menyatakan dalam Ahkamul Janaiz. (hlm. 201) : Kalau, seandainya kondisi basah pelepah itu yang dimaksud, pasti para salafush shalih telah memahaminya dan mengamalkan penunjukkannya, serta telah meletakkan pelepah atau batang pohon di atas kubur saat mereka berziarah. Seandainya mereka melakukan hal tersebut, tentu beritanya akan mashur, kemudian dinukil para perawi terpercaya kepada kita; karena termasuk perkara yang menarik perhatian dan mesti dinukil. Jika tidak dinukil, maka menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Cara seperti ini dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah bid’ah.”
Adapun hadits Buraidah Al Aslami Radhiyallahu ‘anhu yang berisi, bahwa beliau berwasiat agar ditaruhkan dua pelepah di atas kuburnya, maka hal ini merupakan hasil Ijtihad beliau Radhiyallahu ‘anhu semata. Ijtihad itu, kadang benar dan kadang salah. Dan kebenaran bersama orang yang meninggalkan perbuatan itu.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam komentar beliau atas kitab Fathul Bari (3/223) menyatakan: Pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu merupakan kekhususan Nabi merupakan pendapat yang benar. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menanamkan pelepah, kecuali di atas kuburan yang Beliau ketahui penghuninya sedang disiksa. Dan (Beliau) tidak melakukan hal itu kepada semua kuburan. Seandainya perbuatan itu Sunnah, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melakukannya kepada semua kuburan. Juga dikarenakan para Khulafa’ur Rasyidin dan tokoh besar sahabat tidak pernah melakukan hal itu. Kalau, seandainya itu disyari’atkan, tentu mereka akan segera melakukannya.
Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya, 3/222: Bab Al Jaridati Ala Al Qabri. Ibnu Rusydi mengatakan, tampaknya dari penjelasan Imam Bukhari rahimahullah bahwa perbuatan itu khusus untuk dua orang itu saja. Oleh karenanya, beliau melanjutkannya dengan membawakan perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ketika melihat sebuah tenda di atas kuburan Abdurrahman.
انْزِعْهُ يَا غُلَامُ فَإِنَّمَا يُظِلُّهُ عَمَلُهُ
Wahai, anak muda. Cabutlah itu. Hanya amal perbuatannya saja yang (bisa) menaunginya.
Para Ahli Ilmu menjelaskan, bahwa ini merupakan satu kejadian khusus yang mungkin dikhususkan kepada orang-orang yang Allah perlihatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang keadaan sang mayit.
Al Khathabi berkata dalam Ma’alimus Sunan, 1/27, mengomentari hadits ini,”Ini termasuk bertabarruk (mengharapkan barakah, Pent) dengan atsar dan do’a Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam agar diringankan adzab dari keduanya. Seakan-akan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan waktu basahnya ranting itu sebagai batas dari permintaan keringanan adzab dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan karena pelepah basah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki pelepah kering. Kebanyakan orang di banyak negara menanam pepohonan di atas kubur-kubur mereka. Saya lihat, mereka melakukannya tidak mengambilnya dari sisi ini.”
Syaikh Ahmad Syakir, dalam komentar beliau terhadap Sunan Tirmidzi, 1/103, berkata setelah hadits ini : “Benarlah (perkatanaan, Pent) Al Khattabi. Kebanyakan orang semakin menjadi-jadi melakukan amal yang tidak berdasar ini, dan berlebih-lebihan. Terutama di negeri Mesir, karena taklid kepada orang-orang Nasrani, hingga mereka meletakkan bunga-bunga di atas pekuburan, saling menghadiahkan bunga diantara mereka. Lalu mareka taruh di atas pusara keluarga dekat mereka dan teman mereka sebagai penghormatan kepada penghuni kubur, dan sikap berpura-pura baik kepada yang masih hidup. Bahkan kebiasaan ini menjadi setengah resmi dalam acara persahabatan antar bangsa. Engkau dapatkan, para pembesar Islam, jika berkunjung ke salah satu negara Eropa, (mereka) pergi ke kuburan para pembesar negera itu, atau ke kubur yang mereka sebut kuburan pahlawan tak dikenal, dan menabur bunga di atasnya. Sebagian mereka meletakkan bunga plastik yang tidak ada unsur basah padanya, karena mengikuti orang Perancis dan mengikuti perbuatan-perbuatan Nashara dan Yahudi. Para ulama tidak mengingkari atas perbuatan mereka tersebut, apalagi orang awam; bahkan engkau melihat mereka sendiri meletakkan di kuburan orang yang meninggal dari kalangan mereka.
Saya telah mengetahui, kebanyakan wakaf-wakaf yang mereka namakan wakaf khairiyah, ditanami pohon kurma dan bunga-bunga berbau harum, yang diletakkan di atas kuburan. Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan mungkar. Tidak memiliki dasar sama sekali. Tidak memiliki sandaran dari Al Qur’an maupun Sunnah.
Para Ahli Ilmu wajib mengingkari dan memberantas kebiasaan-kebiasaan ini, sesuai dengan kemampuan masing-masing.”
Syaikh kami, Al Albani mengatakan dalam kitab Ahkamul Janaiz, hlm. 201, ”Ada beberapa perkara yang menguatkan (pendapat yang mengatakan), bahwa meletakkan pelepah di atas kuburan merupakan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringanan adzab, bukan disebabkan pelepah kurma yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi dua.”
Syaikh Al Albani rahimahullah menyebutkan dalil, diantaranya hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang terdapat dalam Shahih Muslim rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أنى مررت بقبرين يعذبان فأ حببت بشفاعتى أن يرد عنهما ما دام الغصنان رطبين
Sesungguhnya aku melewati dua kuburan yang sedang disiksa. Maka dengan syafa’atku, aku ingin agar adzabnya diperingan dari keduanya, selama dua ranting ini masih basah.
Hadits ini, secara jelas menerangkan bahwa keringanan adzab itu disebabkan oleh syafa’at dan do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan karena unsur basah (yang ada pada ranting itu, Pent), baik kisah Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang sama ini dengan kisah Ibnu Abbaz Radhiyallahu ‘anhuma yang terdahulu, sebagaimana dirajihkan oleh Al ‘Aini atau ulama lain, ataupun dua kejadian yang berbeda sebagaimana dirajihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Berdasarkan kemungkinan pertama (yaitu kisah Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang satu kejadian dengan kisah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma), sudah cukup jelas. Adapun berdasarkan kemungkinan kedua -menurut penelitian yang benar- menunjukkan bahwa illahnya (penyebabnya) satu, karena adanya kemiripan dalam dua kisah tersebut. Juga, karena keberadaan pelepah basah sebagai sebab diringankan adzab atas mayit tersebut, termasuk perkara yang tidak diketahui secara syar’i ataupun akal. Kalau, seandainya hal itu benar, tentu orang yang paling ringan adzabnya ialah orang-orang kafir yang menanam pepohonan di kuburan mereka layaknya sebuah taman, karena banyaknya tanaman dan pepohonan yang selalu hijau pada musim panas ataupun dingin.
Juga sebagian ulama, seperti Imam Suyuthi rahimahullah menjelaskan, bahwa sebab pengaruh pelepah basah dalam keringanan adzab tersebut, karena dia bertasbih kepada Allah Subahnahu wa Ta’alka. Mereka mengatakan, jika hilang sifat basah dari pelepah itu dan kering, maka berhentilah dari bertasbih. Alasan ini menyelisihi keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. [Al Isra’:44].
Jika hal ini sudah jelas, maka mudah untuk memahami kebathilan Qiyas lemah yang dikutip oleh Imam Suyuthi rahimahullah dari orang yang tidak disebutkan namanya: “Jika adzab kubur diringankan dari keduanya dengan sebab tasbih pelepah tersebut, maka bagaimana pula dengan Al Qur’an yang dibacakan seorang mukmin? Dia mengatakan,”Hadits ini menjadi dalil menanam pohon di kuburan.”
Syaikh Al Albani mengatakan,”Kokohkan dulu kursi singgasana, baru dipahat [3]. Apakah (mungkin) bayangan sesuatu itu lurus, sementara batangnya bengkok. Seandainya Qiyas ini benar, tentulah para salafush shalih bersegera melakukannya, karena mereka lebih bersemangat dalam kebaikan dibandingkan dengan kita.
Keterangan yang telah lewat menunjukkan, meletakkan pelepah di kuburan itu merupakan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan rahasia keringanan adzab atas kedua penghuni kubur tersebut bukan dikarenakan pelepah yang basah, akan tetapi karena syafa’at dan do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini termasuk peristiwa yang tidak mungkin terulang lagi setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan tidak juga bagi orang lain setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena mengetahui adzab kubur termasuk kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini termasuk perkara ghaib yang tidak akan diketahui, kecuali oleh Rasul, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. [Al Jin:26].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
******
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari buku yang* berjudul Tashihul Akhtha’ Wal Auham All Waqi’ah Fi Fahmi Ahaditsin Nabi Alaihishshalatu Was Salam, hlm. 72-78.
[2]. Kami juga menemukan beberapa riwayat lain yang menggunakan kalimat يَسْتَبْرِئُ seperti riwayat Imam Nasa’i berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَبْرِئُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُمَا أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
[1]. Diterjemahkan dari buku yang* berjudul Tashihul Akhtha’ Wal Auham All Waqi’ah Fi Fahmi Ahaditsin Nabi Alaihishshalatu Was Salam, hlm. 72-78.
[2]. Kami juga menemukan beberapa riwayat lain yang menggunakan kalimat يَسْتَبْرِئُ seperti riwayat Imam Nasa’i berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَبْرِئُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُمَا أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satu dari dua orang ini, tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia berkeliling menebar namimah.” Kemudian Beliau mengambil ranting basah. Beliau patahkan menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama kedua ranting itu belum kering.”
[2]. Ungkapan peribahasa, yang artinya buktikan dulu kebenaran satu masalah, kemudian baru dipakai sebagai ukuran. (Pent)
Sumber : Al Manhaj
infone apik gan
BalasHapus